“Gross split” atau sistem bagi hasil dalam sektor minyak bumi dan gas (migas) dianggap bukan merupakan solusi terbaik untuk mempermudah pembiayaan operasional, kata pengamat energi Komaidi Notonegoro.

“Jika menggunakan mekanisme gross split maka tidak ada kehadiran negara dalam mekanisme pasar, karena negara tidak bisa mengawasi secara penuh,” kata Direktur Eksekutif Reforminer itu dalam diskusi masa depan migas di Jakarta Pusat, Sabtu.

Menurutnya, jika menggunakan “Production Sharing Contract” (PSC) (kontrak bagi hasil) reguler sistem lama maka yang akan dibagi adalah biaya hasil produksi bersih yang sudah dikurangi selisih operasional.

Sedangkan sistem gross split negara atau pemerintah sebagai pelaksana tidak memiliki kuasa penuh dalam sistem pengawasan.

Sependapat dengan Komaidi, Ketua Bidang Energi, Sekretariat Nasional (Seknas) Jokowi Tumpak Sitorus mengatakan bahwa gross Split bukanlah sistem baru di Indonesia, karena pada tahun 2007 pernah diwacanakan.

“Biar bagaimanapun kebijakan dari presiden harus dihormati serta dilaksanakan, tentunya dengan perhitungan matang, termasuk penerapan untuk cost recovery,” kata Tumpak.

Ia menjelaskan perbedaan mencolok dengan “cost recovery” (ganti biaya) dengan “gross split” terletak pada yang memiliki kuasa penuh. Misalkan ada sebuah PT A sebagai operator eksplorasi migas sudah menerapkan “gross split”, maka ongkos produksi selisihnya dibagi rata langsung.

Jika itu terjadi, semua aktivitas blok yang dieksplorasi itu adalah kekuasaan dari pemegang kontrak, negara tidak lagi hadir dalam mekanisme tersebut, mulai dari peralatan hingga pekerja.

“Misalkan ditemukan 10 barel minyak, maka lima barelnya bisa saja diambil oleh pemegang saham terbesar dan hal itu dianggap sebagai biaya modal operasional, barulah sisanya dari keuntungan bersih atau lima barelnya dibagi lagi sesuai kontrak,” katanya.

Dalam hal tersebut, pemerintah tidak bisa banyak mengambil peran, karena semuanya merupakan hak dari pemegang kontrak terbesar, sedangkan sistem sekarang atau PSC reguler, pemerintah masih bisa mengawasi sepenuhnya dan mengambil tindakan apabila ada ketidaksesuaian, karena pemegang nilai kontrak terbesar ditentukan oleh pemerintah sebagai pemilik otoritas.

Dampak dari “gross split” tentu saja jumlah produktivitas dipertaruhkan, karena tidak ada perhitungan matang diawal. Selain itu sistem kerja dari SKK Migas akan berubah.

Sisi positifnya adalah iklim investasi bisa lebih menarik, karena investor bisa diberikan kebijakan lebih leluasa dalam melakukan eksploitasi migas. Cadangan minyak yang besar bisa ditemukan dengan berbagai cara yang tidak dipunyai negara.

(Ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby