Jakarta, Aktual.com – Pertumbuhan ekonomi di era pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) yang tak jauh dari angka 5 persen. Dengan kualitas pertumbuhan yang buruk, ternyata tak mampu mereduksi angka kemiskinan menjadi lebih baik.

Pada tahun 2015, pertumbuhan ekonomi sebesar 4,79 persen hanya mampu mengentaskan kemiskinan sebanyak 5,53 persen, sedang di zaman Orde Baru yang pertumbuhan ekonominya mencapai 6,18 persen bisa mengurangi kemiskinan sebanyak 22,7 persen.

“Ironisnya, di tengah penurunan kemampuan pertumbuhan ekonomi, ternyata anggaran kemiskinan justru semakin meningkat. Padahal faktanya, indeks kedalaman kemiskinan dan indeks keparahan kemiskinan kembali memburuk,” cetus Direktur INDEF, Enny Sri Hartati, di Jakarta, Senin (12/12).

Menurut Enny, indeks kedalaman kemiskinan itu menggambarkan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis kemiskinan.

“Semakin tinggi nilai indeks, semakin jauh rata-rata pengeluaran penduduk dari garis kemiskinan itu,” tegas dia.

Sedang indeks keparahan kemiskinan menggambarkan penyebaran pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeksnya, maka akan semakin tersebar tingkat pengeluaran diantara penduduk miskin.

“Jadi, selama periode 2007-2014, angka kedalaman kemiskinan di Indonesia menunjukkan perbaikan. Indeksnya menurun dari 2,99 (2007) menjadi 1,75 (2014). Namun di 2016, tingkat kedalaman kemiskinan kembali memburuk menjadi 1,94,” papar Enny.

Bahkan jika selama ini, kata dia, pemerintah ingin membangun ekonomi dari pinggiran, sepertinya kurang efektif. Mengingat, kemiskinan di desa lebih tinggi dibanding di kota.

Saat ini, indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan sebesar 2,74, sedangkan indeks kedalaman kemiskinan di perkotaan sebesar 1,19.

“Artinya, masyarakat miskin di desa memiliki tingkat pendapatan yang jauh di bawah garis kemiskinan dibanding dengan masyarakat miskin di perkotaan,” jelas dia.

Hal yang sama juga terjadi di indeks keparahan kemiskinan. Ternyata, angkanya di pedesaan lebih buruk dibanding masyarakat miskin perkotaan.

Untuk itu, kata dia, pemerintah harus bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Sehingga, pertumbuhan itu harus didorong oleh kemampuan ekonomi daerah (local genuine) serta pengelolaan kekayaan sumber daya alam.

“Jika masing-masing daerah mampu meningkatkan nilai tambah SDA-nya, maka akan meningkatkan perekonomian secara makro. Sejauh ini ada 16 provinsi yang memiliki kemiskinan melebihi tingkat kemiskinan nasional,” pungkas Enny.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan