Siswa tuna netra menjawab pertanyaan saat mengikuti Ujian Nasional (UN) tingkat SMP di SLBA Yapti Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (9/5). Sebanyak 23.218 pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajat mengikuti UN di Makassar. ANTARA FOTO/Yusran Uccang/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendukung rencana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendi untuk melakukan kebijakan moratorium Ujian Nasional (UN). Apalagi, rencana moratorium UN juga didukung mayoritas anggota Komisi X DPR RI.

Ada delapan alasan kenapa FSGI mendukung UN di moratorium. Dalam Konferensi Pers di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (12/12), Sekjen FSGI Retno Listyarti membeberkan delapan alasan dimaksud.

“Pertama, UN tidak terbukti meningkatkan kualitas pendidikan seperti klaim Wapres JK. Secara pedagogis UN membuat pembelajaran dan pengajaran menjadi kering, kebijakan penilaian pendidikan sebaiknya diserahkan guru dan sekolah,” terangnya.

Pemerintah dalam hal ini mempunyai tanggungjawab untuk mengembangkan kapasitas guru dalam mengajar dan menilai, sehingga pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan otentik.

Alasan kedua, dengan standar pendidik minimal sarjana sesuai Pasal 29 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 dan belum terpenuhinya standar sarana prasarana pendidikan tidak mungkin dibuatkan soal UN yang berindikator sama di seluruh wilayah Indonesia.

Ketiga, lanjut Retno, dengan memaksakan diri menyelenggarakan UN dengan standar soal berindikator sama adalah perbuatan yang tidak berkeadilan sesuai ketentuan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 khususnya Pasal 66 ayat(2).

Keempat, sebagian besar guru Indonesia tidak bangga dengan hasil UN yang diraih anak didiknya. Apalagi mereka melihat dan mendengar sendiri proses penyebaran kunci jawaban antar siswa, soal bocor, terlalu banyak pihak berkentingan dengan hasil UN, sulit dipercaya, dan hal ini masuk pada kategori pelanggaran UN dilakukan tidak obyektif.

Kelima, hasil UN yang diharapkan adalah sebuah pemetaan mutu program dan atau satuan pendidikan akan tetapi kenyataan yang didapat adalah pemetaan ketidakjujuran berbagai pihak. Hal ini sama saja UN digelar dengan melanggar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor19 Tahun 2005, Pasal 68 huruh a.

Keenam, sepanjang UN dilaksanakan dengan rantaian yang panjang dari pusat ke daerah maka sepanjang itu pula peluang kebocoran soal begitu besar dan penyebaran kunci jawaban antar siswa sulit dibendung seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sekarang ini.

“Ketujuh, UN yang dijadikan sebagai penentu kelulusan peserta didik sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 19 Tahun 2005 pasal 68 huruh c, berpotensi dan memberi peluang dan menjadi faktor pendorong banyak pihak untuk tidak jujur,” kata Retno.

Dalam masyarakat sudah berkembang pola pikir dan akan menjadi hukum kebiasaan berpendapat tentang UN menyatakan dihadapan kita hanya ada dua pilihan jujur tapi tidak lulus atau tidak jujur tapi lulus.

Terakhir atau kedelapan, FSGI menilai UN pelaksanaannya tidak obyektif dan meragukan mutu/kompetensi lulusan. Disoroti pula biaya penyelenggaraan UN ratusan miliar yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui UN namun tidak sebanding dengan harapan kepastian pengukuran mutu, dan pencapaian tujuan pendidikan.

Tujuan pendidikan dimaksud adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat sesuai Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 4.

(Soemitro)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan