PBB, Aktual.com – Rencana untuk mengevakuasi distrik Aleppo yang dikuasai pemberontak pada Rabu terancam setelah serangan udara dan artileri baru menggempur kota Suriah tersebut dalam sebuah serangan, menurut PBB kemungkinan besar merupakan kejahatan perang.
Iran, salah satu pendukung utama Presiden Suriah Bashar al-Assad, memberikan syarat baru terkait perjanjian gencatan senjata. Iran meminta evakuasi korban terluka secara serentak dari dua desa yang dikuasai oleh pemberontak, berdasarkan sumber dari pemberontak dan PBB.
Tidak ada tanda hal tersebut akan terwujud. Alih-alih serangan udara dan baku tembak meletus di Aleppo dan Turki menuduh aparat pemerintah melanggar perjanjian yang disepakati kurang dari sehari sebelumnya. Televisi nasional Suriah melaporkan tembakan artileri pemberontak telah menewaskan enam orang.
Terjadi bentrokan di darat setelahnya di hari yang sama, pihak pemberontak menyampaikan bahwa mereka melancarkan serangan terhadap tentara pemerintah menggunakan bom mobil.
Gencatan senjata yang diprakarsai oleh Rusia, sekutu terkuat Assad, dan Turki dimaksudkan untuk mengakhiri perang yang terjadi bertahun-tahun di Aleppo, memberikan pemimpin Suriah kemenangan terbesarnya selama lebih dari lima tahun peperangan. Evakuasi area yang dikuasai pemberontak diharapkan mulai pada Rabu dini hari, namun tidak terlaksana.
Komisaris tinggi untuk HAM PBB, Zeid Raad al Hussein menyampaikan bahwa dirinya terkejut dengan perjanjian yang nampaknya telah batal tersebut.
“Alasan kegagalan gencatan senjata tersebut masih diperdebatkan, namun bombardir parah yang masih berlanjut oleh pasukan pemerintah Syria dan sekutunya di area yang dipadati warga sipil, hampir pasti adalah sebuah pelanggaran terhadap undang-udang internasional, dan kemungkinan besar merupakan kejahatan perang,” imbuhnya.
Menurut sumber kepresidenan Turki tidak ada indikasi cepat kapan evakuasi warga sipil dan pemberontak akan dilakukan, namun stasiun TV pro oposisi menyampaikan bahwa kemungkinan akan ditunda hingga Kamis. Presiden Turki Tayyip Erdogan dan pemimpin Rusia Vladimir Putin sepakat dalam sebuah sambungan telepon untuk melakukan upaya gabungan memulai proses evakuasi.
Tidak ada tanda-tanda syarat yang diajukan Iran akan dipenuhi. Pemberontak menembakkan artileri yang menimbulkan beberapa korban, di dua desa mayoritas Syiah, Foua dan Kefraya, di provinsi Idlib, Aleppo barat, di mana Tehran ingin warga yang terluka dievakuasi, laporan “Syrian Observatory for Human Rights” yang bermarkas di Inggris.
Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov memprediksi perlawanan pemberontak di Aleppo tidak akan bertahan lebih dari dua atau tiga hari.
Kementerian pertahanan di Moskow mengatakan bahwa pemberontak saat ini mengendalikan daerah kantong yang hanya seluas 2,5 kilometer persegi.
Kemajuan Pesat Tidak ada yang tertinggal pada fajar sesuai rencana, menurut saksi mata Reuters yang menunggu di titik keberangkatan, di mana 20 bus menunggu dengan mesin menyala namun tidak menunjukkan tanda akan bergerak menuju distrik pemberontak.
Penduduk di Aleppo timur telah mengemasi barang dan membakar harta mereka menyusul kehawatiran adanya penjarahan oleh tentara Syria dan tentara sekutu yang mendukung Iran.
Otoritas di aliansi militer yang mendukung Assad tidak dapat dihubungi segera untuk memberikan komentar tentang penyebab terhentinya evakuasi.
Penyelidik kejahatan perang PBB mengatakan pemerintah Syria menjadi memikul tanggung jawab utama untuk mencegah serangan dan balasan apa pun di Aleppo timur dan harus bertanggung jawab atas pasukan atau tentara sekutunya yang melakukan pelanggaran.
Dalam situasi yang nampaknya berbeda dengan evakuasi yang direncanakan, kementrian pertahanan Rusia melaporkan 6.000 warga sipil dan 366 pejuang telah meninggalkan distrik yang dikuasi pemberontak tersebut selama 24 jam terakhir.
Total 15.000 orang, termasuk 4.000 pemberontak ingin meninggalkan Aleppo, menurut unit media milik sekutu pemerintah Suriah, Hizbullah.
Rencana Evakuasi adalah puncak dari kemajuan pesat oleh tentara Syria dan sekutunya selama dua minggu yang mendesak pemberontak mundur ke kantong-kantong yang lebih kecil di dalam kota di bawah gempuran serangan udara dan artileri yang hebat.
Dengan mengambil alih Aleppo sepenuhnya, Assad telah membuktikan kekuatan koalisi militernya, dibantu oleh angkatan udara Rusia dan kesatuan milisi Syiah dari seluruh wilayah.
Pemberontak didukung oleh Amerika Serikat, Turki, dan negara-negara kerajaan Teluk Arab, namun dukungan yang mereka terima telah digagalkan oleh dukungan militer langsung yang diberikan Rusia dan Iran kepada Assad.
Keputusan Rusia untuk meluncurkan pasukan udaranya ke Syria 18 bulan yang lalu menguntungkan pihak Assad setelah pemberontak bergerak ke wilayah barat Suriah. Selain Aleppo, Assad telah mengambil alih markas pemberontak di dekat Damaskus tahun ini.
Pemerintah Suriah dan sekutunya lebih fokus pada pentingnya kekuatan tempur dalam menghadapi pemberontak di Suriah barat, dibandingkan melawan ISIS, yang pada pekan ini telah menguasai kota kuno Palmyra, menunjukkan tantangan yang harus dihadapi Assad dalam mengambil alih kendali atas seluruh Suriah.
Rasa Takut Mencekam Setelah perang meletus di Aleppo, perhatian dunia tertuju pada keadaan 250.000 warga yang diperkirakan tertinggal di sektor timur yang dikasai pemberontak ini, sebelum terjadi pergerakan tentara pada akhir November.
Gerakan mundur pemberontak memicu perpindahan massal warga yang ketakutan serta pemberontak dalam kondisi yang memprihatinkan, krisis yang oleh PBB disebut sebagai “kemerosotan kemanusiaan”.
Terjadi kelangkaan makanan dan air di area-area pemberontak dan semua rumah sakit tutup.
Pada Selasa, PBB menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas laporan yang diterima tentang tentara Suriah dan pejuang sekutu Irak yang menembak mati 82 orang di distrik timur Aleppo yang telah diambil alih. Mereka didakwa sebagai penjagal.
Tentara Suriah menyangkal telah membunuh atau meyiksa tawanan, dan Rusia menyampaikan pada Selasa, pemberontak telah menjadikan lebih dari 100.000 orang di Aleppo timur sebagai perisai manusia.
Ketakutan mencekam jalanan kota. Beberapa yang selamat dengan susah payah berjalan di bawah hujan melewati mayat-mayat menuju wilayah barat yang dikuasai pemerintah, atau beberapa distrik yang masih dikuasai pemberontak. Yang lainnya menunggu di rumah dan menanti kedatangan tentara Suriah.
“Orang-orang berkata tentara mempunyai daftar keluarga para pejuang dan menanyakan apakah mereka memiliki anak laki-laki yang bergabung dengan teroris. Mereka kemudian ditembak mati atau dibiarkan sampai mati,” kata Abu Malek al Shamali di Seif al Dawla, salah satu distrik pemberontak terakhir.[Ant]
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Andy Abdul Hamid