Jakarta, Aktual.com – Masih rendahnya indikator kesejahteraan masyarakat tentunya harus menjadi perhatian serius bagi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK).

Untuk itu, di tahun depan, pemerintah diminta untuk memiliki program prioritas agar bisa mendongkrak kesejahteraan. Masalah penanganan stabilitas harga pangan dan efektifitas belanja sosial dinilai harus menjadi program-program prioritas.

“Terkait stabilitas harga pangan di 2017 nanti wajib menjadi perhatian utama pemerintah. Pasalnya, potensinya masih akan meninggi seperti saat in,” ungkap ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara, ketika dihubungi, Jumat (16/12).

Apalagi memang, kata dia, inflasi harga diatur pemerintah diprediksi akan naik di tahun depan. Hal ini terjadi karena akan adanya kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akibat naiknya harga minyak dunia.

“Kemudian juga akan ada pencabutan subsidi listrik berkapasitas 900 VA (volt ampere). Hal itu akan berdampak ke harga pangan yang melambung tinggi. Sehingga otomatis kemiskinan diprediksi juga meningkat,” tandas Bhima.

Kemudian langkah kedua, kata dia, perhatian serius yang harus dilakukan pemerintah adalah memastikan efektivitas belanja sosial dan subsidi non energi.

Karena selama ini, anggaran memang sudah banyak tapi efektivitas rendah. Sebagai contoh subsidi pupuk. Angkanya lebih dari Rp30 triliun digelontorkan pemerintah, tapi tak tepat sasaran.

“Buktinya di lapangan, pupuk masih langka dan harganya mahal. Di musim panen, petani miskin dirugikan. Bantuan kurang tepat sasaran karna rantai distribusi panjang dsb.

Selain itu, kata dia, alokasi dana transfer daerah juga perlu didorong untuk program sosial.

“Karena selama ini belanja daerah banyak terserap ke belanja pegawai. Untuk belanja sosial masih sangat rendah,” pungkasnya.

Dalam catatan INDEF, di lihat dari kacamata indikator kesejahteraan, hingga Agustus 2016, jumlah angkatan kerja mencapai 125,44 juta orang dengan persentase yang menganggur sebanyak 7,03 persen. Kondisi ini memang menurun sedikit dibanding 2015. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah, sepanjang 2016 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) malah membengkak naik.

Pada Februari 2016 TPT berada di level 5,5 persen lalu naik menjadi 5,61 persen di Agustus 2016, dengan jumlah pengangguran di perkotaan lebih banyak dibanding pedesaan. Untuk itu, tahun depan pemerintah harus membuka lapangan kerja yang seluas-luasnya.

Apalagi memang berdasar data yang diolah INDEF, kata dia, sebesar 57,6 persen penduduk bekerja di sektor informal. Sebanyak 23,26 juta penduduk merupakan setengah pengangguran dan 8,97 juta bekerja separuh waktu.

Kemudian, persentase penduduk bekerja sebagian besar masih didominasi pendidikan rendah, hingga 60,24 persen. Hanya 27,52 persen dan 12,24 persen yang berpendidikan menengah dan tinggi.

Serta penyerapan tenaga kerja di sektor industri menurun dari 15,97 juta pada Februari 2016 menjadi 15,54 juta pada Agustus lalu.

(Laporan: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka