Terdakwa penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama saat sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa, 13 Desember 2016. CNN Indonesia/Safir Makki/POOL

Jakarta, Pakar Hukum Tata Negara (HTN) Said Salahudin menilai tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) memperlihatkan bagaimana eksepsi terdakwa penistaan Agama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok membias dari permasalahan yang ada.

“Jadi di sini (dalam pledoi Ahok) ada yang tidak singkron atau konsisten, di satu sisi dia katakan tidak menafsir, namun di sisi lain, dia berusaha menafsir, saya kira ini akan menjadi catatan hakim sendiri,” kata Said, di Jakarta, Selasa (20/12).

Ia menjelaskan dalam nota keberatan Ahok justru menyinggung yang bukan substansi permasalahan, dan ada kesan terdakwa ingin menggiring publik jika dirinya merupakan korban dari kepentingan politik yang membawa atas nama suku, ras, antargolongan.

“Bahkan sampai memberi contoh orang Padang, Batak islam tidak akan bisa menjadi pemimpin kepala daerah di Sulawesi dan sebagainya, padahal apa yang dia sampaikan itu tidak ada kaitannya dengan urusan penistaan agama, kasus Ahok ini soal agamanya saja,” sebut dia.

“Intinya tidak ada persoalan lain, orang tidak menolak Pak Ahok karena sukunya, rasnya, tetapi menolak terkait dengan penodaan agamanya. Menurut saya ini justru dikembangkan oleh Pak Ahok, seolah dia sebagai korban,” paparnya.

Bahkan, yang jadi menarik lagi, JPU memberikan gambaran bahwa apa yang disampaikan terdakwa tidak konsisten.

“Jadi menarik lagi adalah mengatakan bahwa dia tidak punya maksud menafsir tetapi pada bagian yang lain dia mengatakan bahwa surah Al Maidah 51 itu bukan terkait dengan kepemimpinan dipemerintahan, bahkan menurut teman-temannya, dan itu tasfsir,” tandasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby