Jakarta, Aktual.com – Di saat perekonomian global masih penuh ketidakpastian di tahun depan, terutama ditandai dengan adanya potensi kenaikan suku bunga The Fed fund rate (FFR), membuat sektor keuangan dan perbankan akan kian sulit.

Namun sayangnya, hingga saat ini kebijakan di tingkat regulator antara Bank Indonesia dan pemerintah masih belum akur. Hal ini berpotensi lebih runcingnya tantangan di 2017 nanti.

“Dari sisi global, Amerika Serikat akan terus mendorong infrastrukturnya dengan menambah banyak utang. Dengan begitu, inflasi akan meningkat dan FFR pun pasti akan naik secara bertahap di 2017,” papar ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adinegara, di Jakarta, Kamis (29/12).

Dengan kebijakan AS itu, kata dia, implikasinya bagi otoritas moneter tak lagi agresif menurunkan suku bunganya yang sampai November laku sempat jor-joran.

“Hal seperti itu seperti akan diakhiri, karena berpotensi adanya capital outflow akibat Presiden Trump yang agresif menaikan suku bunga The Fed,” tegas dia.

Namun sayangnya, kebijakan BI ini akan menjadi beban perbankan. Karena akan berbenturan dengan semangat suku bunga single digit yang akan susah tercapai.

“Bagaimana mungkin suku bunga bank single digit? Suku bunga The Fed naik dan BI-7 days repo rate di angka 4,75%. Sehingga kondisi ini membuat cost of fund (biaya dana) yang tinggi. Sehingga suku bunga kredit akan susah turun,” katanya.

Hal ini pun ditandai dengan adanya kondisi miss kordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter mengakibatkan perbankan saling berebut dana. “Dan pada akhirnya, lagi-lagi cost of fund perbankan kian mahal lagi,” ujarnya.

Ketidakharmonisan kebijakan fiskal-moneter itu juga terlihat dari yield atau imbal hasil yang dutawarkan Surat Berharga Negara (SBN) masih relatif tinggi yaitu 8-9 persen. Sehingga perbankan juga mengeluarkan biaya tinggi dalam penghimpunan dana.

“Dutambah lagi waktu penerbutan SBN ity juga seringkali berdekatan dengan penerbitan instrumen deposito atau surat utang bank. Ini isu krusial yang tak terkoordinasikan dengan baik,” jelasnya.

Per 9 November 2016, perbankan yang memiliki SBN yang dapat diperdagangkan senilai Rp435,13 triliun. Atau naik 12,99 persen dibanding posisi per 4 Januari 2016 (ytd). Jadi porsi kepemilikan SBN rupiah oleh bank capau 24,73 persen dari total SBN rupiah yang bisa diperdagangkan.

Dengan kondisi tersebut membuat perbankan di Indonesia masih belum efisien. Hal ini diluhat dari margin yang dihasilkan dari bunga bersih (NIM) yang masih berada di atas 5,5% dan Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional (BOPO) juga tinggi.

“Perbankan masih sangat tidak efisien masih sangat gemuk, NIM-nya masih di atas 5,5%, dan 5,65% berdasarkan data OJK. Apalagi BOPO sendiri masih di atas 81%,” tutup Bhima.(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid