Jakarta, Aktual.com – Pengamat ekonomi politik senior, Ichsanuddin Noorsy meminta pemerintah untuk mewaspadai pertarungan ekonomi antara Amerika Serikat versus China.
Pasalnya, di saat yang sama, keterbukaan ekonomi yang sudah disepakati melalui kesepakatan-kesepakatan bilateral maupun multilateral sangat sulit ditarik kembali.
“Makanya, dalam lingkup pertarungan ekonomi AS versus RRC ini, saya menyebut hal ini sebagai kapitalisme korporasi melawan kapitalisme BUMN (negara),” ujar Ichsanuddin dalam catatan akhir tahun, seperti di keterangan resmi yang diterima, di Jakarta, Jumat (30/12).
Kondisi itu, menurutnya, sebagai wujud perang reputasi-kredibilitas pribadi dan kelompok melawan reputasi-kredibilitas negara.
Seperti yang dilihat dalam kepemimpinan Xi Jinping, posisi RRC ternyata tidak berdiam diri. Sejak mendeklarasikan diri melawan
kebijakan neoliberal melalui pendirian New Development Bank (sebagai lawan Bank Dunia, IBRD), China banyak bersikap.
Mereka juga menolak pemakaian dolar AS dalam transaksi perdagangan internasional, mendirikan Asean
Infrastructure Investment Bank (lawan Bank Pembangunan Asia, ADB), RRC memperluas pengaruhnya melalui kerjasama perdagangan dan investasi, termasuk membangun jalur-jalur infrastruktur perdagangan untuk meningkatkan volume perdagangan.
“Sekaligus juga langkah China itu untuk menurunkan biaya dan mencegah penggunaan dolar AS serta mengirim ketenagakerjaannya ke negara tujuan investasi,” tandas dia.
Dalam prediksi kalangan ekonom AS, sebutnya, RRC akan melampui posisi ekonomi AS pada tahun 2030 nanti. Sementara di ASEAN, banyak negara yang mendapat kucuran investasi dari China. Seperti Malaysia yang siap menerima US$ 20 milyar untuk pembangunan infrastruktur kereta api dan moda transportai lain.
Demikian juga dengan Filipina. Bahkan, kata dia, investasi China itu dipandang Rodrigo Duterte dipandang sebagai penolong. “Only China could help,” tegas Presiden Filipina Duterte itu.
“Bagaimana dengan kita? Di Indonesia justru China memberi utang luar negeri sebesar US$ 21,982 miliar, RRC mengambil posisi negara investor ke tiga setelah Singapura dan Jepang,” tegas Ichsanuddin.
Makanya, dalam perspektif sistem ekonomi politik Barat yang oleh Stiglitz dipandang telah gagal, maka pertarungan sesama kaum kapitalis (dalam basis individual atau komunal) telah melahirkan situasi
perekonomian yang tidak pasti.
Seperti disebut Immanuel Wallerstein yang menulis tentang sistem dunia yang sedang mencari bentuk baru. Belasan buku ekonomi politik yang terbit 2015-2016 merujuk situasi itu sebagai iklim ketidakpastian, stagnasi ekonomi, lahirnya tangan-tangan perekonomian di pasar (sebagai lawan invisible hand-nya Adam Smith), simpang siurnya peradaban kebebasan pasar, dan kebuntuan model keterbukaan ekonomi.
“Ujung pangkal dari semua itu adalah, luruhnya modal sosial karena sistem sosial bermuatan utuh modal finansial. Itulah yang disebut sebagai kegagalan materialisme menemukan harkat martabat manusia,” papar dia.
Sayangnya Indonesia, kata dia, mengikuti jejak kegagalan itu sebagaimana kajian dia sejak Indonesia memberlakukan UU No. 24/1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar serta UU 25/2007 tentang Penanaman Modal.
Bahkan janji Trisakti sebagai jawaban atas rentannya sistem ekonomi total
terbuka itu justru memperlebar dan memperdalam jangkauan keterbukaan. “Sepuluh jenis kebijakan kebebasan ekonomi termasuk kebebasan visa bagi 169 negara seakan memberi pesan, gagas Trisakti telah sirna dimakan masa,” ujar dia.
Itu terjadi sejak kebijakan pada 12 November 2014 lalu, di mana pemerintah menaikkan harga Bensin RON 88 dari Rp6.500 menjadi Rp8.500. Demikian juga dengan tarif listrik yang disandarkan atas fluktuasi nilai tukar rupiah, harga ICP dan inflasi.
“Jadi simpulan sederhananya, telah berlaku harga pasar atas energi. Maka pada sektor energi, pangan dan keuangan, sesungguhnya bangsa Indonesia selalu terancam krisis disebabkan lemahnya penguasaan sumberdaya dan produksi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” pungkas dia.(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid