Petugas melayani masyarakat yang antre saat mengurus surat kelengkapan kendaraan bermotor di kantor Samsat, Malang, Jawa Timur, Rabu (4/1). Samsat setempat mencatat, menjelang kenaikan tarif Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), dalam dua hari terakhir permintaan pengurusan STNK dan BPKB di kawasan tersebut meningkat hingga dua kali lipat hingga mencapai 1.000 orang per hari. ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/foc/17.

Jakarta, Aktual.com – Ekonom INDEF Nailul Huda menyayangkan kebijakan kenaikan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Polri yang melambungkan tarif pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB).

Padahal kondisi saat ini masih belum memungkinkan. Dimana pendapatan masyarakat menengah ke bawah masih rendah, sehingga daya beli pun masih merosot. Dengan kebijakan ini dipastikan akan semakin mencekik publik.

“Saya lihat daya beli masyarakat di tahun ini masih sama seperti tahun lalu yang terus menurun. Sehingga konsumsi motor dan mobil juga masih rendah. Hal itu terjadi karena pendapatan masyarakat juga terus turun,” tutur Nailul di Jakarta, Kamis (5/1).

Menurutnya, dengan masih rendahnya konsumsi otomitif maka berdampak pada pembuatan BPKB dan STNK baru yang akan turun. Cuma sayangnya, kondisi riil itu malah dijadikan momen oleh Polri yang malah menarikan tarif pengrusan dua surat kendaraan bermotor itu.

“Ini jadi enggak fair dong. Di saat daya beli menurun malah menaikan tarif. Saya dengan kebijakan baru pun PNBP Polri tak akan jauh dari angka Rp1 triliun lebih rendah dari target Rp1,7 triliun,” jelas dia.

Mestinya kebijakan yang tepat yang diusung pemerintah dengan menaikan cukai otomotif saja.

“Ini (cukai) lebih tepat selain mengerem laju pertumbuhan konsumsi kendaraan juga bisa menambah PNBP. Bukan malah dengan kebijakan menaikan tarif yang mencapai 270-300 persen. Itu sangat berat,” papar dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh: