Sejumlah warga menunggu giliran pembayaran pajak kendaraan di Kantor Samsat Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Kamis (5/1). Jumlah pemohon di Samsat setempat mengalami peningkatan hingga lebih dari 30 persen pada hari terakhir menjelang pemberlakuan secara serentak se-Indonesia tarif baru penerbitan dan pengurusan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB) dengan besaran dua hingga tiga kali lipat dari tarif lama. ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ama/17.

Jakarta, Aktual.com – Praktisi hukum Effendi Syahputra menilai langkah Presiden Joko Widodo yang mempertanyakan dan menyatakan akan mereview kenaikan tarif STNK dan BPKB sebagai aksi ‘Pahlawan Kesiangan’.

Langkah yang diambil Presiden itu setelah satu instansi dengan instansi lainnya saling buang badan. Dari Kementerian Keuangan yang mengaku usulan kenaikan tidak datang dari mereka, demikian juga pihak Kepolisian RI yang terkesan ogah kena getah dari urusan yang diprotes masyarakat itu.

“Seperti biasa setiap ada masalah dan polemik besar di Indonesia Jokowi akan muncul seakan-akan beliau berpihak pada masyarakat, dalam kaitan kasus kenaikan tarif ini Jokowi seperti ingin menunjukan bahwa dialah yang mampu menyelesaikan dengan menurunkan tarif ini,” kata dia dalam keterangannya kepada Aktual, Jumat (6/1).

“Presiden Jokowi lupa atau mungkin tidak paham bahwa polemik ini muncul diakibatkan oleh keteledorannya dalam menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) mengenai kenaikan tarif tersebut,” sambung Effendi.

Polisi muda ini mengungkapkan, dibalik sikap ‘kepahlawanan’ Jokowi sesungguhnya terdapat keteledoran yang dengannya dapat berpotensi membahayakan bagi negara. Apalagi keteledoran ini bukan kali pertama dilakukan Presiden.

“Untuk kesekian kali Jokowi menandatangani sebuah produk Konstitusi negara tanpa membaca dan memahami. Ini berbahaya, walaupun di kemudian hari dia menjadi ‘pahlawan’ untuk mereviewnya,” terangnya.

“Kalau ini terus menjadi kebiasaan dan pola dari Jokowi maka sesungguhnya negara ini dalam ancaman besar, karena bisa saja berikutnya ada peraturan-peraturan yang lebih krusial lagi disetujuinya sebagai Presiden tanpa membaca dan memahaminya,” demikian Effendi.

Artikel ini ditulis oleh: