Jakarta, Aktual.com – Pembongkaran kawasan lampu merah Kalijodo, di bantaran kali Angke, Jakarta, Senin (29/3) silam menyisahkan kepedihan mendalam bagi warga yang terkena gusuran itu. Pembongkaran yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu pun, dikawal oleh ratusan petugas polisi, mengantisipasi kemungkinan perlawanan para penghuni yang tak mau digusur.

Demikian kisah warga-warga yang terkena relokasi oleh pemerintah DKI, yang tertuang dalam sebauh film dokumenter Jakarta Unfair. Film ini mengingatkan kita bahwa penggusuran yang dilakukan tanpa memikirkan aspek lain hanya akan mengembalikkan era di mana keadilan layaknya Utopia. Dan sayangnya, hukum hanya menjadi alat bagi pemegang kekuasaan.

“Kalau pemilu saja kita diikut sertakan. Giliran kayak gini saja kita disebut warga illegal,” kata warga Bukit Duri, Jakarta Selatan, mengenai penggusuran yang akan dialaminya. Pernyataan polos yang spontan tersebut menjadi sebuah cuplikan adegan yang terdapat pada film Jakarta Unfair.

Jakarta Unfair adalah sebuah film dokumenter tentang fenomena penggusuran yang kembali ramai di Jakarta. Bukit Duri merupakan kampung yang tergusur karena adanya normalisasi Kali Ciliwung. Selain Bukit Duri, film ini juga mengisahkan tentang masyarakat lima kampung lainnya yang tergusur yaitu, Kampung Pulo, Kampung Dadap, Pasar Ikan dan Kalijodo.

Cerita tentang penggusuran tampaknya selalu ada dan tak pernah usai dalam mengiringi kehidupan ibu kota. Atas nama pembangunan, modernisasi atau dalih yang lain masyarakat bisa diusir dari rumah yang sudah ditinggalinya dalam puluhan tahun lamanya.

“Kalau saya disuruh milih antara duit (kompensasi) dengan kumpul sama keluarga di rumah, saya lebih milih untuk kumpul sama keluarga karena kenangannya itu tidak bisa terbeli,” ujar Pahrudin warga yang terkena gusur oleh Pemprov DKI.

Film ini juga mengisahkan tentang sulitnya kondisi ekonomi warga setelah dipindahkan ke rumah susun sederhana sewa, yang telah disiapkan oleh Pemprov DKI. Kondisi tersebut merupakan keteledoran Pemprov DKI yang cenderung asal gusur, tanpa memikirkan kegiatan ekonomi warga yang digusur tersebut.

Suhadi, mantan warga Pasar Ikan yang tinggal di Rusun Rawa Bebek misalnya, diceritakan dalam film ini harus menjalani hidup sulit karena kondisi wilayah yang sangat berbeda. Dia dan warga Pasar Ikan, sudah terlanjur bergantung pada hasil laut. Berbeda dengan kondisi di Rawa Bebek yang membuat warga tergusur harus memulai dari nol.

“Gimana mau bayar sewa, sampai gini hari saja-saja cuma segini,” ujar Suhadi sembari menunjukkan uang Rp 12 ribu yang baru didapatnya dari nasi goreng.

Tercatat sebanyak 6.516 dari 13.896 warga penghuni rumah susun telah menunggak sewa selama tiga bulan. Para warga pun seolah luput dari perhatian media massa yang cenderung mengabaikan kesusahan mereka.

“Giliran sudah pindah di sini sengsara, untuk makan pun susah, tidak diliput. Tidak ada aspirasinya yang sampai ke atas,” kata Sudirman, warga Kalijodo yang dipindahkan ke Rusun Marunda.

Film Jakarta Unfair sendiri lebih menekankan pada kisah-kisah yang luput dari media massa tentang susahnya masyarakat yang tergusur oleh kebijakan yang dilakukan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok selaku pemimpin di Jakarta.

Laporan: Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Teuku Wildan
Wisnu