Jakarta, Aktual.com – Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang diajukan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI).

“Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (11/1).

Dalam amar putusannya ,Mahkamah menyatakan Pasal 109 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa “penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum” tidak dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban atau pelapor dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan”.

Mahkamah dalam pertimbangannya menyebutkan prapenuntutan seringkali mengalami kendala khususnya terkait dengan seringnya penyidik tidak memberikan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) maupun mengembalikan berkas secara tepat waktu.

“Hal tersebut jelas berimplikasi terhadap kerugian bagi terlapor dan korban atau pelapor,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo ketika membacakan pertimbangan Mahkamah.

Hak-hak korban atau pelapor dan terlapor menjadi tidak pasti dikarenakan mekanisme yang tidak tegas dan jelas, sehingga berimbas pada tidak adanya kepastian hukum terhadap sebuah perkara tindak pidana.

Menurut Mahkamah, penyampaian SPDP kepada jaksa penuntut umum adalah kewajiban penyidik untuk menyampaikannya sejak dimulainya proses penyidikan, sehingga proses penyidikan tersebut adalah berada dalam pengendalian penuntut umum dan dalam pemantauan terlapor dan korban atau pelapor.

Fakta yang terjadi selama ini dalam hal pemberian SPDP adalah kadangkala SPDP baru disampaikan setelah penyidikan berlangsung lama.

“Adanya alasan bahwa tertundanya penyampaian SPDP karena terkait dengan kendala teknis, menurut Mahkamah, hal tersebut justru dapat menyebabkan terlanggarnya asas due process of law sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” pungkas Hakim Konstitusi Suhartoyo.

Pemohon dari perkara ini menilai sejumlah ketentuan prapenuntutan dalam KUHAP semakin melemahkan peran penuntut umum, karena proses prapenuntutan seringkali timbul kesewenangan penyidik dan berlarutnya penanganan tindak pidana dalam proses penyidikan.

(Ant)

Artikel ini ditulis oleh:

Nebby