Jakarta, Aktual.com – Saudaraku, nasionalisme bukan soal dari mana kita bermula, melainkan apa yang kita perbuat. Bahwa kita mencari makan dari daratan dan lautan kepulauan ini, minum dari air yang terpancar dari perut bumi dan sungai yang mengalir di sini, serta menghirup oksigen dari atmosfir alam raya nusantara ini. Maka, kita punya hutang budi kehormatan terhadap Tanah Air ini. Di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung.
Kecintaan terhadap Nusa-Bangsa tanpa mengenal asal-usul itu ditunjukan oleh Pahlawan Nasional keturunan Tionghoa, Laksamana Muda John Lie (Jahja Daniel Dharma). Lahir di Manado, 9 maret 1911, jalan hidupnya mengambil jalur “menyimpang” dengan meninggalkan zona nyaman demi mengabdi kepada ibu pertiwi lewat jalur ketentaraan.
Ketika ditanya oleh KSAL Laksamana M. Pardi mengenai keinginannya untuk bergabung dengan TNI Angkatan Laut, John Lie menjawab, “Saya datang bukan untuk cari pangkat, saya datang ke sini mau berjuang di medan laut”. Ketulusan tekad perjuangannya itu segera terbukti. Meskipun ia hanya diberikan pangkat terendah (Kelasi Kelas III), ia tetap menerimanya dengan perasaan syukur dan gembira, karena ia diizinkan untuk mengabdi kepada Ibu Pertiwi melalui ALRI.
Penerimaan John Lie untuk berjuang dari bawah itu sangat mengesankan, mengingat ia sudah banyak berpengalaman sebagai pelaut dan nakhoda di kapal Belanda (Koninklijke Paketvaarts Maatschappij/KPM) maupun di kapal perang Sekutu (Royal Navy) dalam Perang Dunia II (1929-1945). Dalam kaitan ini, A.B. Lapian menyatakan (2008), “John Lie mempunyai banyak pilihan untuk hidup enak, misalnya memihak Belanda dan tetap melanjutkan karirnya di KPM, atau bergabung dengan kelompok keturunan Tionghoa dimana saja, seperti di Singapura, Hong Kong dan lain-lain. Tetapi nasionalisme baginya adalah sesuai dengan jatidiri yang telah ditemukan selama sekian tahun berlayar di kapal KPM Belanda, yakni “nasionalisme Indonesia.” Hal ini menunjukkan semangat cinta Tanah Air John Lie yang tinggi, yang membuatnya rela berjuang demi Republik Indonesia tanpa dilandasi pamrih-pamrih tertentu.
Kerelaan berjuang demi kecintaan kepada Nusa-Bangsa itu ia tunjukkan lewat serangkaian tindakan kepahlawanan. Selama revolusi kemerdekaan, John Lie menyumbangkan tenaga dan pikirannya sejak 1946 secara penuh dalam membangun fasilitas ALRI di Cilacap; misalnya membersihkan ranjau laut serta mendidik tenaga-tenaga muda ALRI dalam berbagai ilmu kelautan dan navigasi. Ia juga berani menantang maut dengan aksi-aksi penyelundupan persenjataan (juga menyelundupkan kadet-kadet AURI yang hendak mendapatkan pendidikan penerbangan di India), menembus blokade AL Belanda guna mendapatkan persenjataan dan logistik, yang dilakukan dengan kapal speedboat PPB 31 LB dan kemudian PPB 58 LB (yang diberi nama JohnLie ’The Outlaw’).
John Coast, seorang diplomat serta penulis asal Inggris, yang di masa revolusi menggabungkan diri dengan perwakilan RI di Singapura dan Bangkok, menuliskan kesannya: “Seorang patriot Indonesia, seorang Tionghoa menurut asal usul rasialnya, seorang Kristen menurut agamanya, John Lie adalah nakhoda Jogja [maksudnya Republiken] terakhir dan yang paling berani’].”
Tentang keberanian dan heroisme John Lie, Roy Rowan, seorang wartawan Life, dalam artikelnya berjudul “Guns-and Bibles-are Smuggled to Indonesia” (Life, 26 September 1949: 50) melukiskannya sebagai berikut: “Patroli Belanda yang siap siaga telah memotong jalur perdagangan ini di sebagian besar Jawa dan Sumatera, namun ini tidak menyurutkan gerakan Kapten berumur 39 tahun ini meski sepanjang sejarahnya malang melintang di perairan terlarang tersebut Belanda pernah menembakinya hingga 60 kali. Kapalnya yang 110 kaki panjangnya dan tak dilengkapi senjata, dengan tulisan PPB 58 LB dihaluannya, telah berkali-kali dikejar-kejar di Selat Malaka oleh kapal-kapal penghancur dan kapal korvet. Dari lima kapal yang diluncurkan, yang dibeli dari Inggris di Singapura, hanya kapal Lie-lah yang tidak pernah tertangkap meski telah dikejar dan dibanjiri peluru dan bom. Telah berkali-kali Lie melarikan kapal hitamnya ke teluk kecil di Pulau Sumatera, dan menutupinya dengan ranting-ranting dan dedaunan sambil menunggu sampai kapal-kapal terbang Belanda beserta perahu penghancurnya menghentikan pencarian. Senjata-senjata dagangan yang sebelumnya dibeli dari Malaya diterbangkan ke Jawa atau diselundupkan melintasi selat ke Sumatra dengan kapal Lie.”
John Lie memainkan peran penting sebagai penyelundup senjata dalam suatu jaringan internasional. Aksi-aksi heroisme John Lie dan kawan-kawan sebagai pejuang kemerdekaan yang idealis, bukan oportunis, pada gilirannya dapat mendukung perjuangan diplomasi politik Indonesia di PBB, sehingga RI mendapatkan dukungan internasional sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Kabar-kabar radio internasional seperti BBC maupun All Indian Radio mengenai keberhasilan misi-misi John Lie menembus blokade Belanda yang ketat itulah yang senantiasa ditunggu oleh para diplomat Indonesia di forum PBB, seperti Sjahrir, H. Agoes Salim, LN Palar dan Soedjatmoko sebagai ‘amunisi’ untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Republik Indonesia masih eksis, tidak seperti yang dituduhkan Belanda.
Ketulusan pengabdian dan kecintaanya pada Nusa-Bangsa Indonesia, membuat John Lie memiliki pandangannya tersendiri tentang apa yang disebut sebagai “pribumi” dan “non-pribumi”. Menurutnya, orang pribumi adalah orang-orang yang Pancasilais, sapta-margais, yang jelas-jelas membela kepentingan negara dan bangsa. Sedangkan non-pribumi adalah mereka yang suka korupsi dan merugikan kepentingan nasional. “Mereka itu sama juga menusuk bangsa kita dari belakang. Maka patutlah mereka digolongkan orang non-pribumi” (Nursam, 2008).
(Yudi Latif, Makrifat Pagi)