Jakarta, Aktual.com – Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Azzam Azman menyebut kasus suap dalam pengadaan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia Tbk yang menyeret mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar sebagai tersangka merupakan persekongkolan vertikal antara Garuda Indonesia dengan perusahaan Rolls Royce sebagai pemberi suap.
Diketahui, Emirsyah menjadi penerima suap puluhan miliar rupiah dari perusahaan Rolly-Royce agar membeli mesin pesawat pabrikan Rolls Royce untuk pesawat Garuda Indonesia Airbus A-330.
“Jadi ini adalah persengkokolan vertikal antara pemilik proyek, yaitu Garuda Indonesia, dengan pemasok. Ini namanya persengkokolan vertikal,” ujar Azam Azman di Jakarta, Jumat (20/1).
Azzam pun menilai pengungkapan kasus suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dapat dijadikan momen untuk melakukan pembenahan dalam tata kelola di setiap perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Jadi enggak apa-apa, bagus, sekaligus membenahi BUMN. Membenahi tata kelola BUMN, bagus itu,” jelasnya.
Lebih lanjut, Azzam mengungkapkan, kasus ini telah terungkap sejak 2013 lalu, di mana dalam pengungkapan kasus ini, KPK bekerja sama dengan dua lembaga asing, yakni Serious Fraud Office (SFO) asal Inggris serta Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) dari Singapura. Dengan terungkap terlebih dahulu di luar negeri, KPK diyakini mampu mengungkap adanya aliran dana yang masuk ke Indonesia melalui Singapura.
“Dan ini kan yang tidak tampak di Indonesia, ada persengkokolan di luar. Kalau nggak dibuka di luar negeri, bisa enggak ketangkep yang di Indonesia. Ini kan karena ada yang tertangkap di luar negeri, maka ada aliran uang dari Rolls Royce dan ditelusuri oleh antikorupsi Inggris, ada aliran uang ke Indonesia melalui singapura,” pungkas politikus Partai Demokrat ini.
Sebelumnya KPK menyebut Emirsyah menerima suap dari Soetikno yang nilainya mencapai puluhan miliar dalam pengadaan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia Tbk. Suap tersebut diterimanya dalam bentuk uang dan barang yaitu dalam bentuk sebesar 1,2 juta Euro dan USD180 ribu atau setara dengan Rp20 miliar.
Atas perbuatannya, Emir selaku penerima suap dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sementara Soetikno selaku pemberi suap dijerat Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Laporan: Nailin In Saroh
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby