Jakarta, Aktual.com – Ekonomi Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden Donald Trump diprediksi bakal meningkat 2,5-3%. Mestinya dengan kondisi tersebut bisa menjadi peluang bagi perdagangan luar negeri Indonesia.
“Tapi masalahnya, yang mau dilakukan Trump adalah menutup AS. Kalau nggak tutup, kita gembira sekali, karena AS tumbuh 2,5-3%. Cuma kekhawatiran kita, AS jadi proteksionis, sehingga enggak ada yang bisa dimanfaatkan,” cetus mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, di Jakarta, ditulis Rabu (25/1).
Untuk itu, kata dia, yang perlu dilakukan pemerintah adalah memanfaatkan instrumen fiskal yaitu dengan menggenjot daya beli bisa dengan program cash forward dalam jangna pendek, program padat karya seperti bangun jalan, dan lainnya.
“Karena jika dia (masyarakat) punya uang pasti akan belanja. Tapi ingat, kasihnya ke orang miskin bukan orang kaya. Kalau orang miskin dapat income, pasti akan belanja. Kalau dia beli makanan, permintaan akan naik, industri akan jalan. Investor akan ekspansi. Industri lain akan ikut juga,” tandas Chatib.
Menurut dia, pemerintah tinggal mencari program yang tepat dan kemudian kasih uang untuk menggenjot daya beli tadi. Karena bagi pengusaha, jika daya beli tumbuh, mereka akan gairah berinvestasi.
“Itu sebabnya meski tingkat suku bunga turun, kredit enggak tumbuh. Ngapain saya pinjam uang bank, kalau enggak ada yang beli? Itu pola pikir private sector. Enggak mau ekspansi karena nggak ada yang beli. Jadi mesti ada orang yang beli barang dulu,” ingatnya lagi.
Dengan swasta yang ekspansif, maka akan ada industrialisasi. Karena ke depan eranya industrialisasi dan era perdagangan akan berakhir. “Mudah-mudahan saya salah. Tapi kelihatannya mengarah ke situ (industrialisasi dan trade berakhir),” pungkas Chatib.
Laporan: Busthomi
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid