Jakarta, Aktual.com – Presiden Amerika Serikat Donald Trump membawa pesan yang jelas kepada dunia mengenai kebijakan perdagangan yang proteksionis dan kebijakan luar negeri yang isolationis.

Sepanjang kampanyenya, Trump mengumbar doktrin tentang “America First” yang mendefiniskan mengenai upaya membangun kembali AS sebagai kekuatan ekonomi. Pesan yang sama mengenai isolasionisme dan proteksionisme juga dipertegas dalam pidato inaugurasi Trump sebagai Presiden AS yang ke-45.

Banyak pihak menilai kebijakan perdagangan Amerika Serikat era Trump, yang berpeluang menjadi semakin protektif, tidak akan terlalu memengaruhi kinerja ekspor Indonesia ke negara itu.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan produk ekspor Indonesia bukan pesaing utama produk ekspor AS. Dia juga mengatakan peluang AS untuk membangun industri manufaktur padat karya yang kompetitif masih sangat kecil karena tingkat upah yang relatif tinggi.

“Trump terpilih jelas mau proteksionis, tetapi kita bukan pesaing utama AS. Ekspor kita bukan pesaing utama produk mereka. Tentu ada garmen kita hasilkan, tetapi tidak mungkin AS berpaling menghasilkan garmen, karena upah tenaga kerja di AS yang mahal,” kata dia.

Selama ini, AS menjadi mitra dagang Indonesia dengan nilai total perdagangan mencapai 19,27 miliar dolar AS (Rp260 triliun) sepanjang Januari hingga Oktober 2016. Kontribusi tekstil, produk tekstil, dan alas kaki mencakup 31 persen dari total ekspor Indonesia ke AS.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan produk-produk ekspor andalan Indonesia ke AS, selain merupakan produk berbasis komoditas yang kompetitif seperti karet, udang, dan furniture, juga merupakan produk manufaktur padat karya yang mengandalkan upah buruh murah.

“Dengan demikian, AS diperkirakan akan tetap mengimpor produk-produk tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki dari negara-negara yang berupah buruh murah, seperti Vietnam dan Indonesia,” kata dia.

Sementara itu, Faisal mengungkapkan hal yang justru perlu dikhawatirkan adalah pangsa pasar ekspor Indonesia untuk produk-produk tersebut yang semakin tersaingi oleh produk-produk serupa dari negara-negara lain yang memiliki tingkat upah lebih rendah, seperti Vietnam dan Bangladesh.

Selain itu, produk-produk manufaktur dari Indonesia saat ini sebenarnya sudah dikenakan tarif yang cukup tinggi di AS (rata-rata tarif ‘most favored nation’ di atas 10 persen).

Tarif ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif yang dikenakan terhadap produk-produk manufaktur impor dari Meksiko yang umumnya hampir nol persen, karena adanya kesepakatan perdagangan bebas antara negara-negara Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (North American Free Trade Agreement/NAFTA).

Faisal mengatakan kemungkinan pengenaan tarif yang lebih tinggi untuk produk-produk manufaktur dari Indonesia lebih kecil dibandingkan dengan produk-produk dari negara-negara yang memperoleh tarif lebih rendah atau yang sudah dibebaskan, seperti misalnya Meksiko.

“Hanya saja, beberapa produk ekspor Indonesia yang memiliki subtitusi impor di AS seperti minyak sawit, patut diwaspadai peluangnya untuk dikenakan kebijakan restriktif khususnya dalam bentuk non-tarif. Pasalnya, hambatan non-tarif di AS justru banyak dan bervariasi,” ucap dia.

Berdasarkan laporan WTO, saat ini berbagai jenis hambatan non-tarif yang dikenakan AS berjumlah 4780, jauh lebih banyak dibanding Indonesia yang hanya berjumlah 272.

Mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri membenarkan bahwa Trump membawa pesan mengenai proteksionisme dan isolasionisme kepada dunia. Namun, menurut dia, Trump sebagai Presiden AS akan menjadi “normal” setelah enam s.d sembilan bulan menjabat.

Chatib mengatakan hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan AS menaikkan Federal Funds Rate (FFR) untuk mendukung kebijakan stimulus fiskal Trump yang menerapkan pemangkasan pajak dan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan peningkatan infrastruktur.

Seperti dikutip dari laporan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Trump berencana memangkas pajak pribadi dari tujuh golongan dengan tarif antara 10 dan 40 persen menjadi tiga golongan dengan tarif 12 hingga 33 persen.

Sementara itu, pemotongan pajak korporasi dari 35 persen menjadi 15 persen untuk mendorong masuknya laba ditahan perusahaan AS yang selama ini disimpan di negara lain untuk menghindari pajak. Kebijakan Trump tersebut juga bertujuan meningkatkan investasi sehingga dapat mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih besar.

Chatib menilai Bank Indonesia (BI) tidak memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuannya tahun ini karena bank sentral AS kemungkinan masih akan tiga kali menaikkan suku bunganya.

“Kalau BI tidak punya ruang untuk menurunkan bunga dan The Fed terus menaikkan, tidak mengejutkan bila BI menaikkan bunga 25 hingga 50 basis poin, artinya ‘cost of funds’ investasi menjadi mahal,” kata Chatib.

Menurut mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal itu, kemungkinan bank sentral AS menaikkan FFR menjadi lebih terbuka karena “the 10-year US Treasury bond yield” meningkat 80 basis poin (1,6 persen menjadi 2,4 persen) semenjak Trump terpilih menjadi Presiden AS.

“Kalau The Fed tidak mau tertinggal, The Fed harus menaikkan suku bunganya 75 s.d. 100 basis poin, artinya tiga kali 25 (bps) atau empat kali 25 (bps),” ujar Chatib.

Kemungkinan peningkatannya terjadi tiga kali 25 basis poin mengingat sebelumnya, pada bulan Desember 2016, The Fed telah menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin.

Optimalisasi Regionalisme Tidak mengejutkan pula bahwa Donald Trump secara resmi menarik keikutsertaan AS dalam Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific Partnership/TPP) pada 23 Januari 2017, atau di hari kerja pertamanya.

Menurut pernyataan Gedung Putih yang disampaikan beberapa saat setelah Trump dilantik, strategi penarikan diri ini dilakukan demi melindungi angkatan kerja AS. Pemerintah AS akan membidik negara mana pun yang melanggar kesepakatan perdagangan dan merugikan pekerja Amerika Serikat.

Langkah tersebut dinilai menjauhkan AS dari sekutu-sekutunya di Asia ketika di saat bersamaan pengaruh China semakin meningkat di kawasan tersebut.

Kemitraan Trans-Pasifik adalah skema kerjasama perdagangan yang telah ditandatangani 12 negara, termasuk Australia, Brunei, Kanada, Chile, Jepang, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Peru, Singapura, Vietnam dan AS.

Trump, yang ingin menggairahkan lagi sektor manufaktur, mengatakan dia akan memburu kesepakatan dagang bilateral dengan negara-negara di dunia. Sikap Trump menyangkut perdagangan global mencerminkan perasaan umum rakyat Amerika bahwa kesepakatan dagang internasional lebih banyak merugikan pasar lapangan kerja AS.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Rosan Roeslani, menilai negasi Amerika Serikat era Trump terhadap TPP menguntungkan posisi Indonesia dari segi manufaktur.

“Dengan tidak adanya TPP, posisi Indonesia lebih bagus dari segi manufaktur karena tidak mendapatkan saingan dari Vietnam,” kata dia.

Rosan mengatakan apapun kebijakan yang diambil Trump, Indonesia harus dapat menggunakan hal itu sebagai suatu kesempatan untuk menjadi lebih kompetitif lagi. Salah satu kebijakan yang dapat diambil Indonesia, lanjutnya, dengan mempertimbangkan posisi negara dengan Vietnam, di mana kedua negara memiliki daya ekspor tekstil yang sangat tinggi ke AS.

Selama ini, pertumbuhan industri garmen Vietnam bertumbuh pesat karena negara tersebut menikmati ekspor non-tarif tekstil ke Amerika Serikat, sementara Indonesia harus membayar tarif. Namun, sekarang posisi Indonesia dan Vietnam sejajar karena keduanya harus membayar biaya ekspor untuk memasukkan produk tekstil ke Amerika Serikat.

“Itu yang membuat kita bisa lebih kompetitif lagi,” katanya.

Posisi TPP yang dikesampingkan oleh AS tersebut, kata Rosan, merupakan peluang bagi kerja sama regionalisme Asia Tenggara. ASEAN perlu kemudian memperkuat perdagangan bebas negara-negara anggotanya, yang mana resiprositasnya dinilai masih rendah.

“Jangan sampai ada ‘Brexit’ di ASEAN karena aliansinya berbeda-beda. misalnya Kamboja yang bersekutu ke China. Kita tidak pernah terpikir negara-negara ASEAN akan selalu bersatu, tidak tertutup kemungkinan kita bisa pecah,” ucap Rosan.

Menurut dia, salah satu langkah yang dapat diambil untuk mempertahankan kohesivitas ASEAN adalah melalui perdagangan dan investasi.

Oleh: Calvin Basuki, Jurnalis Antara

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara