Jakarta, Aktual.com – Tim Pengawas Tenaga Kerja Indonesia DPR meminta pemerintah memperbaiki konsep prapenempatan TKI sebelum ditempatkan di luar negeri karena permasalahan banyak terjadi dalam proses tersebut.
“Kami nilai pemerintah masih bingung konsep bagaimana alur dari prapenempatan tenaga kerja ditempatkan hingga penempatannya di luar negeri,” kata Ketua Tim Pengawas Tenaga Kerja Indonesia DPR, Fahri Hamzah, usai menerima perwakilan organisasi buruh, di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (31/1).
Ia menyebutkan, 65 persen persoalan TKI ada di prapenempatan dan di sana merupakan awal dari perdagangan manusia hingga seorang menyogok untuk memalsukan umur.
Menurut dia, dalam proses prapenempatan itu, calon TKI banyak yang tidak mendapatkan pengetahuan tentang bagaimana hidup dengan masyarakat di luar negeri yang memiliki budaya berbeda.
“Hal ini karena negara tidak memfasilitasi kegiatan prapenempatan dengan baik sehingga sering kita lihat ada TKI yang hilang namun identitasnya tidak diketahui. Padahal sebenarnya identitas mereka dipalsukan,” ujarnya.
Wakil Ketua DPR itu juga mengkritik kebijakan moratorium pengiriman TKI, misalnya ke Jeddah, Arab Saudi, namun tanpa ada solusi yang ditawarkan pemerintah.
Menurut dia, kebijakan moratorium itu sudah dilakukan, namun di sisi lain kebutuhan seorang harus dipenuhi sehingga memunculkan tindak perdagangan manusia.
“Orang harus tetap bekerja sehingga menyebabkan munculnya perdagangan manusia. Orang dijual melalui mekanisme seolah-olah bekerja di perusahaan namun kenyataannya menjadi pembantu rumah tangga,” katanya.
Ketua Umum Serikat Buruh Migran Indonesia Hariyanto mendesak adanya revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan Dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri karena belum mengatur mengenai buruh migran yang bekerja di laut.
Dia menilai, saat ini Indonesia bukan hanya memiliki pekerja migran di darat namun juga di laut yang kondisinya lebih tragis karena belum ada regulasi yang mengatur terkait anak buah kapal (ABK).
“Kami mengadvokasi kasus ABK namun sudah empat tahun tidak selesai karena tidak ada payung hukum untuk menyelesaikan kasus ABK,” katanya.
Dia juga menjelaskan, dalam diskusi dengan Fahri dan beberapa aktivis buruh didapatkan kesepahaman bahwa UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang menjadi konsideran revisi UU Nomor 39 Tahun 2004.
Artikel ini ditulis oleh: