Jakarta, Aktual.com – Pertamina harus menghadapi kenyataan ditinggalkan dua orang pucuk pimpinan tertingginya, yakni dirut Dwi Soetjipto dan Wadirut Ahmad Bambang. Isu perpecahan diantara kedua pucuk pimpinan tersebut yang ditengarai menjadi pemicu diberhentikannya Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama Pertamina oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham dari BUMN Migas Plat Merah tersebut.
Adanya kekisruhan pada Pertamina yang menyebabkan lengsernya kedua orang tersebut sangat disayangkan, ditengah upaya Pertamina menuju World Class Company. Apalagi, Pertamina berambisi untuk mencaplok PGN dengan berbagai cara.
“Ide BUMN Holding Migas tidak semudah menggabungkan Bank bank BUMN pada awal tahun 1998 menjadi Bank Mandiri, kompleksitas dan juga tarik menarik kekuasaan pada sektor migas masih sangat kencang,” ujar Koordinator Indonesian Community for Energy Research (ICER), Iqbal Tawakal dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Sabtu (4/2).
Pertamina hendaknya dibiarkan berkolaborasi dengan PGN untuk membangun dan memperkuat Industri Strategis Nasional yang benar-benar fokus dalam menjalankan amanat Undang-Undang Dasar tahun 1945 pasal 33.
“Sinergi BUMN antara Pertamina dan juga PGN baiknya lebih ditingkatkan misalnya dalam hal distribusi penyaluran gas sehingga bisa menekan harga gas industri dan ujungnya tentu saja mempunyai multiplier efek yang tinggi bagi Perekonomian Nasional, bukannya dipaksakan dijadikan satu yang pada akhirnya memunculkan perusahaan monopoli yang berpotensi menghasilkan ‘mafia-mafia’ baru,” tegasnya.
Pertamina melalui Direktorat Hulunya mempunyai PHE dan juga Pertamina EP, dan PGN dengan Saka Energy adalah anak perusahaan BUMN Migas Indonesia yang makin hari mempunyai portfolio atas pengusaaan cadangan yang sangat bagus.
Hendaknya ini memotivasi Pemerintah dalam menugaskan kedua BUMN tersebut menjadi National Oil Company (NOC) kelas dunia dengan memberikan keleluasaan kedua BUMN tersebut dalam belanja modalnya dalam rangka eksplorasi. Setoran deviden dari kedua BUMN tersebut hendaknya digantikan dengan belanja modal dalam rangka ekplorasi untuk menambah cadangan migas nasional.
Selain isu perpecahan, informasi yang berkembang adalah mengenai kebijakan Pertamina yang mengakibatkan Indonesia harus mengimpor BBM Jenis Solar tanpa justifikasi yang kuat.
Padahal, pondasi yang dibangun oleh Karen Agustiawan dan dilanjutkan oleh Dwi Soetjipto sebenarnya sudah cukup bagus walaupun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, yang utama adalah permasalahan financing ditahun 2018 dimana Pertamina mendapatkan perintah untuk mengelola 8 Wilayah kerja Migas yang sudah habis masa kontraknya.
(Laporan: Dadangsah)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka