Direktur Eksekutif Center For Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo (kiri) bersama Direktur Utama DIM Prihatmo Hari Mulyanto (kanan) serta dipandu Kepala Divisi Risk Management, Audit and Compliance PT Danareksa Investment Management (DIM) Tunggul Manurung saat sosialisasi amnesti pajak di Jakarta, Rabu (21/9/2016). DIM mendukung program amnesti pajak dengan menawarkan berbagai produk pilihan investasi dan berkomitmen penuh mendukung pemerintah dalam menjalankan program amnesti pajak serta mengelar Sosialisasi untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai proses amnesti pajak.

Jakarta, Aktual.com – Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menilai deklarasi harta dari program amnesti pajak harus mampu dioptimalkan untuk menambah penerimaan pajak pada tahun ini.

“Jika 2016 amnesti pajak menjadi penentu pencapaian target pajak, maka 2017 harta hasil deklarasi amnesti pajak menjadi determinan bagi tambahan penerimaan pajak,” ujar Yustinus saat jumpa pers di Jakarta, Selasa.

Dari sisi penerimaan, amnesti pajak sukses menghasilkan penerimaan sebesar Rp109,5 triliun dan deklarasi harta di atas Rp4.300 triliun, tertinggi di dunia.

Meski demikian, lanjut Yustinus, capaian tersebut tidak mampu mendorong penerimaan pajak 2016 mencapai targetnya. Target penerimaan pajak dalam APBN-P 2016 mencapai Rp1.365 triliun, namun realisasinya hanya mencapai 81,4 persen.

Di sisi lain, dana repatriasi masih rendah, sehingga belum signifikan pengaruhnya pada perekonomian nasional. Penambahan Wajib Pajak (WP) juga tidak signifikan sehingga tambahan basis pajak cukup minim.

Sejauh ini, menurut Yustinus, kinerja penerimaan pajak belum memuaskan. Dalam sepuluh tahun terakhir, target penerimaan pajak tidak tercapai, bahkan presentase realisasi penerimaan pajak 2016 (81,4 persen) merupakan yang terburuk. Jika realisasi penerimaan pajak jika tidak memasukkan hasil dari amnesti pajak, penerimaan pajak bahkan hanya mencapai 73 persen.

Target APBN 2017 sendiri ditetapkan sebesar Rp1.307,7 triliun atau turun 5,9 persen dari target APBN-P 2016.

“Pemerintah telah menetapkan target pajak tahun 2017 lebih realistis namun pemerintah tetap harus bekerja keras untuk mencapainya, mengingat pencapaian 2016,” ujar Yustinus.

Selain itu, Tax buoyancy (kinerja pemungutan pajak) yang menggambarkan kemampuan otoritas pajak Indonesia dalam mengikuti laju pertumbuhan ekonomi terus menurun, yaitu 2012 (2,1 persen), 2013 (1,9 persen), 2014 (1,4 persen), 2015 (1,5 persen), dan 2016 (1,4 persen).

Di tahun 2014, rasio pajak Indonesia (12,2 persen) juga masih tertinggal dibanding negara lain, Filipina (16,7 persen), Malaysia (15,9 persen), Singapura (13,9 persen), Afrika Selatan (27,8 persen), Kamerun (16,1 persen), dan jauh tertinggal dari rata-rata negara OECD (34,2 persen).

Angka kepatuhan pajak pun masih rendah (58 persen, 2015) dengan Wajib Pajak yang masih didominasi Wajib Pajak Orang Pribadi Karyawan.

ANT

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan