Jakarta, Aktual.com – Wacana pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) soal sertifikasi terhadap pemuka agama atau da’i bukan muncul dan lahir dari ruang kosong.
Demikian disampaikan Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya dalam keterangan tertulisnya yang diterima aktual.com, di Jakarta, Rabu (8/2).
“Pemerintah menurut saya perlu berpikir lebih bijak soal sertifikasi. Masyarakat yang kritis tentu paham itu bukan ide yang lahir dari ruang kosong. Tapi sebuah gagasan yang muncul karena sebuah sebab dan kepentingan rezim dalam merespon dinamika kekinian dari geliat umat Islam,” kata Harits.
Menurutnya bahwa ide penerapan sertifikasi mengandung problem dari sisi paradigma dan motif kepentingan di baliknya. Sehingga, sambung dia, jika dipaksakan maka sangat potensial melahirkan resistensi dari umat Islam khususnya dari para ulama.
“Sertifikasi akan melahirkan sangkaan sebagai upaya pemasungan dakwah oleh rezim yang berkuasa. Sertifikasi sebagai upaya menyeragamkan muatan dakwah versi rezim,” ujar dia.
Bahkan, masih kata Harits, sangat sulit rasanya kemudian pemerintah membangun argumentasi yang kokoh untuk menjawab point penting; Pijakan normatifnya apa? Paradigma yang di adopsi seperti apa?, Motifnya apa dengan sertifikasi?, Apa tolak ukur untuk menentukan seseorang itu layak atau tidak sebagai da’i?.
Sebab, dikatakannya, dunia dakwah bukanlah dunia kontes dengan para juri dan SMS dukungan pemirsa agar lolos untuk menjadi pemenang lomba da’i.
“Dunia dakwah sejatinya bukan sekedar tausyiah, mauidzah khasanah, mengedukasi umat dengan Islam spektrumnya sangatlah luas. Termasuk didalamnya ada kewajiban yang harus di emban oleh para da’i untuk melakukan koreksi atau memberi nasehat kepada penguasa,” paparnya.
“Rasanya naif sekali dalam ruang demokrasi ada syahwat dari rezim untuk membonsai geliat umat Islam melalui proyek sertifikasi ulama atau da’i,” tandas dia.[Novrizal Sikumbang]
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid