Jakarta, Aktual.com – Ketua Komisi B DPRD Sumatera Utara, Roby Agusman Harahap mengungkapkan keluhan industri di medan terkait aksi calo gas yang menyebabkan harga makin meningkatkan dan tidak kompetitif.
Roby memaparkan, Industri di Medan terpaksa membayar lebih mahal karena PT Pertagas Niaga mengutip biaya sebesar USD1,55 per MMBTU. Padahal tegas Roby, PT Pertagas Niaga tidak mempunyai infrastruktur pipa gas.
“Industri di Medan sudah lama mengeluhkan ini. Mereka harus bayar lebih mahal karena ada calo gas, pemerintah tidak boleh kalah sama calo gas ini,” kata Roby Agusman Harahap, Kamis (9/2).
Hal senada diungkapkan, Wakil Ketua Komisi B, Jenny Luciana Berutu, pihaknya meminta agar pemerintah memperbaiki tata kelola gas bumi terutama terkait masalah alokasi gas bumi.
“Kementerian ESDM justru memberikan alokasi gas ke badan usaha yang tidak punya infrastruktur gas. Contohnya di Medan, ada PGN yang punya pipa gas langsung ke industri di Medan, tapi tidak dapat alokasi gas. Alokasi gas justru jatuh ke badan usaha yang tidak punya infrastruktur, ini aneh tapi nyata terjadi di Medan,” ungkap Jenny.
Dia menambahkan, buruknya tata kelola gas juga diperparah dengan adanya praktek ilegal penjualan LNG (gas alam cair).
“Ada badan usaha jualan LNG pakai truk tanpa izin alias ilegal dan dibiarkan. Ini kami minta untuk dihentikan segera,” jelasnya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, berikut ini adalah rincian harga gas di Industri khususnya di Medan dari mulai asal sumber gas hingga ke tangan industri.
Pertama, pasokan gas ke industri di Medan terbagi atas dua sumber yakni dari Kilang LNG Bontang, Kalimantan Timur dan sumber gas dari Pertamina EP di Sumatera Utara yang dialirkan melalui pipa.
Untuk sumber pertama dari LNG Bontang, LNG tersebut merupakan alokasi gas yang ditetapkan Kementerian ESDM dan SKK Migas untuk industri di Medan. Harganya USD 7,8 per MMBTU. Hampir 63 persen komposisi harga gas ke industri di Medan berasal dari harga gas di hulu. Artinya harga gas bumi ke industri sejak awal sudah mahal.
Kedua, LNG dari Bontang tersebut kemudian di regasifikasi di Terminal Regasifikasi Arun, Lhokseumawe, Aceh. Biaya proses regasifikasi atau menjadikan gas alam cair jadi gas bumi dikenakan USD 1,5 per MMBTU. Lalu ditambah dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yakni USD 0,15 per MMBTU, jadi total USD 1,65 per MMBTU.
Ketiga, gas bumi dari Terminal Regasifikasi Arun diangkut melalui pipa trasmisi Arun-Belawan milik PT Pertamina Gas (Pertagas) sepanjang 350 km. Pertagas mengenakan biaya angkut gas sebesar USD 2,53 per MMBTU dan ditambah PPN sebesar USD 0,25 per MMBTU, sehingga total USD 2,78 per MMBTU.
Keempat, setelah dari Pertagas, gas bumi tersebut harus melalui ‘keran’ perusahaan trader gas yaitu Pertagas Niaga. Masalahnya perusahaan ini tidak memiliki fasilitas pipa sama sekali. Trader gas tak bermodal fasilitas ini memungut biaya margin sebesar USD 0,3 per MMBTU.
Lalu, Pertagas Niaga mengenakan lagi biaya yang namanya Gross Heating Value (GHV) Losses sebesar USD 0,33 per MMBTU.
Tak cukup sampai disitu, Pertagas Niaga juga mengenakan Own Used & Boil Off Gas (BOG) sebesar USD 0,65 per MMBTU serta Cost of Money sebesar USD 0,27 per MMBTU. Total, trader tak berfasilitas yaitu Pertagas Niaga memungut USD 1,55 per MMBTU.
Lalu, sumber gas dari produksi Pertamina EP dikenakan USD 8,24 per MMBTU, kemudian diangkut melalui pipa transmisi gas bumi Pangkalan Susu-Wampu yang dikelola Pertaggas dengan biaya USD 0,92 per MMBTU termasuk pajak.
Dengan dua sumber gas tersebut di campur menjadi satu, lalu dibagi volume gas masing-masing pasokan, maka harga rata-rata gas bumi sebelum dibeli oleh PGN sebesar USD 10,87 per MMBTU. Kemudian oleh PGN diteruskan ke pelanggan industrinya dengan biaya yang dikenakan USD 1,35 per MMBTU. Biaya tersebut adalah ongkos distribusi gas bumi melalui pipa gas bumi milik PGN sepanjang lebih dari 640 km. Sehingga ujungnya industri-industri di Medan membeli gas bumi dengan harga USD 12,22 per MMBTU.
(Laporan: Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka