Gubernur Petahana DKI Basuki Tjahaja Purnama saat acara serahterima laporan nota singkat akhir pelaksana tugas Gubernur DKI di Balaikota, Jakarta, Sabtu (11/2). Melalui laporan nota tersebut, Ahok kini resmi menjabat kembali sebagai gubernur yang aktif. AKTUAL/Tino Oktaviano
Gubernur Petahana DKI Basuki Tjahaja Purnama saat acara serahterima laporan nota singkat akhir pelaksana tugas Gubernur DKI di Balaikota, Jakarta, Sabtu (11/2). Melalui laporan nota tersebut, Ahok kini resmi menjabat kembali sebagai gubernur yang aktif. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Pakar Hukum Djoko Edhi S Abdurrrahman menilai lucu sikap pemerintah yang belum melayangkan surat pemberhentian sementara terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dari jabatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Padahal, Ahok sudah menjadi terdakwa kasus penistaan agama.

“Saya lihat di televisi serah terima jabatan dari Plt Gubernur DKI Jakarta Soemarsono kepada Gubernur Ahok. Kemudian muncul Mendagri menyatakan bahwa Ahok tidak dinonaktifkan sebagai gubernur, karena ancaman hukuman adalah 4 tahun, yaitu terdakwa atas kejahatan Pasal 156 KUHP. Nah lho? Mendagri bisa salah baca. Agaknya dapat masukan dari lawyer yang belum punya Berita Acara Sumpah),” ujar mantan Anggota Komisi III DPR RI itu di Jakarta, Minggu (12/2).

Jika tak salah, lanjutnya, dakwaan primer terdakwa Ahok adalah Al Maidah 51, Pasal 156 a KUHP. Dimana itu merupakan delik formil. Pelapisnya (dalam istilah JPU disebut dakwaan alternatif), yaitu Pasal 156 adalah delik materil dengan ancaman hukuman 4 tahun penjara. Dalam surat dakwaan JPU merupakan dakwaan subsider.

“Ini yang diambil Tjahyo Kumolo sebagai pedoman 4 tahun tadi. Kalau ancaman hukuman 4 tahun penjara, maka Pasal 83 Ayat 1 UU Pemda, Ahok tak kena. Artinya, jabatan gubernur Ahok tak perlu dicabut.”

“Menarik argumen Tjahyo ini. Ancaman subsider bisa diambil sebagai faktor determinasi. Ini baru di dunia hukum.”

Namun, pada surat dakwaan JPU di Pasal 156 a yang menjadi primernya merupakan delik formil. Artinya perbuatan menjadi kejahatan tidak berangkat dari akibat. Tidak perlu motif tapi ancaman hukumannya 5 tahun.

“Pertanyaannya, ancaman hukuman dalam blasphemi Ahok: Pasal 156 atau Pasal 156 a? Mendagri mengambil yang 156. Ini preseden baru, karena yang dimaksud ancaman diambil dari dakwaan subsider. Dengan itu Ahok lolos dari ancaman pemberhentian Pasal 83 Ayat 1 UU Pemda. Menurut saya tak benar. Yang jadi acuan adalah dakwaan primer, bukan subsider.”

Djoko mencontohkan, seorang melakukan pencurian, dia masuk dengan merusak pintu, lalu kepergok penghuni yang kemudian dibunuhnya. Lalu dia lari dengan mencuri mobil korban. “Mana yang primer? Satu, Perusakan pintu. Dua, Pembunuhan. Atau tiga, Pencurian?”

Ilmu hukum pidana ini mengatakan ancaman hukuman tertinggi menempati primer, yaitu pembunuhan. Sedang pencurian dan perusakan pintu menempati subsidernya. “Nah Jika pembacaan seperti ini dilakukan oleh Mendagri, mau tak mau Ahok harus diberhentikan.”

Selain itu, Preseden yang pasti terjadi pada kasus korupsi. Subsidernya senantiasa gratifikasi, ancamannya 4 tahun. Bukan kejahatan berat, apalagi extra ordinary crime. Delik korupsinya yang diancam 5 tahun ke atas tak dibaca.

“Kalau kata Prof Mahfud MD, resiko menabrak hukum seperti itu ditanggung oleh Presiden Jokowi, dia bisa dilengserkan, ironisnya hanya karena salah baca UU. Agar tak melanggar hukum, sarannya, Jokowi bisa menerbitkan Perppu untuk membypass UU Pemda. Mantap sarannya.”

Laporan: Nailin In Saroh

Artikel ini ditulis oleh:

Wisnu