Pekerja beraktivitas di Metering Station Muara Tawar PT Pertamina Gas, di kawasan Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Kamis (9/2). PT Pertamina Gas melalui pipa gas Muara Karang-Muara Tawar mengalirkan gas 25-30 MMSCFD ke Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PTLG) Muara Tawar, pipa berdiameter 24 inch sepanjang 30 kilometer dengan kapasitas maksimal 270 MMSCFD tersebut diharapkan mampu memenuhi energi bagi kebutuhan listrik yang semakin besar sekaligus mampu mendorong pertumbuhan industri. ANTARA FOTO/Risky Andrianto/pd/17

Jakarta, Aktual.com – Pengamat Ekonomi Energi UGM, Fahmy Radhi merasa prihatin atas kebijakan pemerintah yang memberikan izin impor gas untuk pembangkit maupun untuk industri pada umumnya. Padahal produksi gas dalam negeri tidak sepenuhnya terserap.

Namun apa mau dikatakan, faktanya harga gas dalam negeri lebih tinggi dibanding impor. Dengan harga yang tidak ekonomis, tentu membuat industri tidak kompetitif.

“Di tengah berlimpahnya gas dalam negeri, impor gas sungguh sangat ironis. Namun, faktanya harga gas dalam negeri lebih mahal daripada impor, sehingga menyebabkan industri pengguna bahan baku gas menjadi tidak kompetitif,” katanya kepada Aktual.com, Senin (13/2).

Namun apabila kebijakan impor itu tak bisa dihindari, dia mensyaratkan kebijakan itu mesti dilakukan secara terbatas dan temporary.

“Harus dilakukan secara terbatas dan temporary. Jumlahnya terbatas sesuai kebutuhan industri, lalu temporary pada saat harga gas dalam negeri mendekati harga gas impor, kebijakan impor harus distop,” tandasnya.

Sebelumnya Mantan Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Mugas, Faisal Basri menuturkan penyebab tingginya harga gas dalam negeri tidak lain karena kesalahan regulasi dalam mengatur harga. Selain itu juga ditambah infrastruktur yang tidak memadai dan panjangnya rantai suplai.

Namun yang menjadi persoalan dan harus dicermati oleh pemerintah, ketika keran impor dibuka, tentu saja gas impor juga membutuhkan infrastruktur, sehingga dengan keterbatasan infrastruktur yang ada saat ini, juga akan membuat harga gas impor menjadi mahal.

“Pertanyaannya sekarang, kalau gas diimpor untuk industri kan tidak bisa juga karena tidak ada pipanya. Kecuali, industri itu ada ditepi pelabuhan gas nya. Makanya, tidak bisa sesederhana itu. Makanya, saya bingung atas kebijakan pemerintah,” kata Faisal.

(Laporan: Dadangsah Dapunta)

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka