Jakarta, Aktual.com – Koordinator Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mempertanyakan konsep membangun dari pinggiran yang selama ini diagung-agungkan oleh pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Pasalnya, indikator yang paling kontras adalah kehidupan petani yang jauh dari kata sejahtera. Hal ini terjadi karena Nilai Tukar (NTP) dan Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) terus merosot tajam.

Kata dia, berdasar data dari Badan Pusat Statistik (BPS), ternyata NTP dan NTUP terus memburuk. NTP Januari 2017 turun 0,56 persen dibanding Desember 2016. Dan pada Januari 2017 itu, terjadi inflasi pedesaan sebesar 0,79 persen. Hal serupa juga terjadi pada NTUP Januari 2017 yang turun 0,43 persen dibanding Desember 2016.

“Kondisi ini mencerminkan semakin buruknya kehidupan masyarakat petani dan pedesaan. Padahal pemerintah mengklaim telah berhasil mengirim dana desa. Ini menunjukkan  bahwa dana desa telah mengalami disalokasi atau tidak sampai sasaran. Lantas, kemana membangun dari pinggiran itu?” cetus dia kepada Aktual.com, di Jakarta, Minggu (19/2).

Hal serupa juga dialami oleh para buruh tani. Ternyata, kata dia, upah buruh menurun. Upah riil harian buruh tani Desember 2016 turun sebesar 0,19 persen dibanding upah riil bulan sebelumnya, upah riil harian buruh bangunan Desember 2016 juga turun 0,29 persen dibanding upah riil bulan sebelumnya.

“Penurunan upah riil ini dikarenakan pemerintan telah gagal mengendalikan inflasi terutama inflasi harga pangan,” jelas Daeng.

Kondisi itu, kata dia, semakin diperparah dengan adanya harga pangan yang terus melonjak. Untuk rata-rata harga beras Januari 2017, kata dia, sebesar Rp13.222,00 per kg. Artinya naik 0,16 persen dari bulan sebelumnya.

Belum lagi bicara harga cabai rawit yang kenaikannya 37,35 persen; daging ayam ras naik 3,55 persen. Kenaikan harga pangan, kata dia, merupakan anomali yang membahayakan, karena harga pangan global cenderung menurun.

“Dan sudah pasti kenaikan harga pangan ini semakin menggerus daya beli masyarakat yang menurun sejak awal pemerintahan Jokowi ini,” cetus Daeng.

Padahal, lanjut dia, mengendalikan harga pangan itu merupakan tugas paling pokok pemerintah. “Karena berkaitan dengan hidup-matinya masyarakat miskin Indonesia,” ketus dia.

Kondisi tersebut semakin diperparah dengan masalah ketenagakerjaan yang memburuk. Faktanya, kata dia, jumlah orang Indonesia yang bekerja pada Februari 2015 sebanyak 120,85 juta orang, namun malah menyusut pada Agustus 2016 sebanyak 118,41 juta orang.

“Berarti jumlah orang yang bekerja berkurang 244 ribu orang. Ini merupakan kontradiksi bagi pemerintahan Jokowi yang tengah menjalankan kebijakan pembukaan lapangan kerja nasional bagi pekerja asing asing dalam berbagai mega proyek infrastruktur pemerintah,” tegas Daeng.

(Reporter: Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka