Jakarta, Aktual.com – Menteri BUMN Rini Soemarno menjadi sasaran kekecewaan sejumlah pihak baik di Parlemen maupun oleh beberapa lembaga ‘pengawas’ pemerintah.

Rini Soemarno dirasa sebagai ‘biang keladi’ dari keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan Penatausahaan Modal Negara (PMN) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Perseroan Terbatas (PT) yang melangkahi kewenangan DPR.

Menurut Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Sucipto, ide mengeluarkan PP 72 tersebut sarat kepentingan pribadi maupun golongan tertentu.

“Melangkahi DPR dan aturan ini tidak berpihak kepada rakyat. Ini kemungkinan hanya ada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu,” ungkap Yenny di Jakarta, Rabu (22/2).

Melalui aturan tersebut lanjut Yenny, Menteri Rini memiliki kuasa penuh untuk mengatur dan mengendalikan saham masing-masing BUMN. Semakin memprihatinkan, Kementerian BUMN sendiri tidak memiliki roadmap yang jelas.

“Dengan memisahkan BUMN dari kekayaan negara dan tanpa adanya intervensi dari DPR, maka sudah pasti akan sangat mudah bila BUMN yang seharusnya jadi aset negara untuk memakmurkan rakyat, dapat berpindah ke pihak asing,” ungkapnya.

FITRA sendiri telah melayangkan gugatan ke Pengadilan atas PP Nomor 72 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyertaan dan PMN pada BUMN dan Perseroan Terbatas (PT) tersebut.

“sekarang tinggal nunggu panggilan untuk sidang. Dan menunggu juga respon dari DPR mengenai hal ini, kami berharap DPR bisa menjadi sahabat pengadilan untuk melakukan kontrol dalam proses ini kepada lembaga tempat kami mengirimkan gugatan,” kata Yenny.

Hal senada juga disampaikan oleh Koordinator Presidium Majelis Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI), Mahfud MD.

Ia mengatakan, gugatan yang dilayangkan ke hadapan MA mengenai pembatalan PP 72 juga masih menunggu proses pemanggilan.

“Kita sudah memasukkan gugatan ke MA. Kita tunggu saja panggilan dan kawal prosesnya,” ungkap Mahfud.

Berkaitan hal ini, ketua Komisi XI DPR, Melchias Markus Mekeng mendukung sikap penolakan Komisi VI dan gugatan yang dilakukan beberapa pihak guna membatalkan PP tersebut.

Menurutnya pembahasan di DPR diperlukan karena BUMN merupakan bagian dari kekayaan negara yang yang perlu diawasi.

“Saya sepakat menolak PP tersebut. Dan kami sepakat apapun yang berhubungan dengan kekayaan negara harus melalui pembahasan DPR walaupun prosesnya rumit dan panjang,” tandas Mekeng.

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan