Jakarta, Aktual.com – Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Fahmy Radhi menganggap tindakan Freeport sudah keterlaluan terhadap Pemerintah Indonesia. Ancaman arbitrase yang dilontarkan perusahaan asal Amerika Serikat itu telah menunjukkan bahwa perusahaan itu tidak punya itikad baik dan hanya mementingkan eksploitasi kekayaan alam milik Indonesia semata.

Bahkan tak tanggung-tanggung, perusahaan itu sengaja mendatangkan Chief Executive Officer induk perusahaan (Freeport McMoRan), Richard C. Adkerson ke Jakarta hanya untuk mengancam pemerintah Indonesia.

“Untuk menentang UU No 4 Tahun 2009, Freeport mengancam menghentikan produksi, merumahkan karyawan Freeport, memperkarakan pemerintah Indonesia ke Arbitase Internasional. Itu yang dilontarkan oleh Richard C Adkerson,” tuturnya secara tertulis, Rabu (22/2).

PT Freeport memang sudah berkali-kali mengancam pemerintah Indonesia. Namun kali ini kiranya kesabaran Indonesia telah sampai pada batas kadarnya.

Saat Pemerintahan SBY kala itu Freeport juga mengancam yang pada akhirnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang kala itu dijabat oleh Jero Wacik, mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 1 Tahun 2014, yang mengizinkan Freeport mengeskpor konsentrat dengan kadar tertentu.

Kemudian Sudirman Said, Menteri ESDM jilid satu Pemerintahan Joko Widodo, juga mengizinkan Freeport mengekspor konsetrat. Izin ekspor itu dikeluarkan pada setiap tahun berdasarkan hasil evaluasi atas kemajuan pembangunan smelter. Pada saat Acandra Tahar menjadi Menteri ESDM jilid dua juga melakukan hal yang sama.

“Pemerintah kali ini sesungguhnya memberikan opsi jalan tengah untuk tetap mengijinkan ekspor konsentrat, tanpa melabrak peraturan perundangan berlaku. Opsi itu diberikan dengan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Minerba,” tambah dia.

PP Minerba mewajibkan perusahaan pemegang KK untuk mengolah dan memurnikan konsentrat di Smelter dalam negeri, kecuali bersedia mengubah status kontrak dari KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Awalnya Freeport menyetujui status IUPK, namun Freeport menolak persyaratan IUPK terkait divestasi 51 persen secara bertahap dalam 10 tahun dan sistim fiskal prevailing (besaran pajak yang berubah seiring dengan perubahan peraturan pajak di Indonesia). Freeport ngotot untuk tetap menggunakan sistim fiskal naildown (besaran pajak tetap), seperti yang diterapkan oleh KK.

“Pemberian izin ekspor konsentrat tanpa menyetujui persyaratan divestasi dan sistim fiskal, termasuk pelanggaran terhadap PP Minerba 1 Tahun 2017. Kalau Freeport kembali menggunakan status KK, pemberian izin ekspor, yang tidak diolah dan dimurnikan di smelter dalam negeri, juga termasuk pelanggaran UU Minerba 4 Tahun 2009,” paparnya.

Fahmy sendiri berspekulasi bahwa ancaman Freeport itu belum tentu benar-benar dilaksanakan, pasalnya Freeport akan menghitung cost and benefit dalam menerapkan ancamannya. Salah satu perhitungan Freeport adalah semakin mersosotnya harga saham McMoRan Copper & Gold Inc di Bursa New York (FCX).

Dua tahun lalu, harga saham FCX masih bertengger sekitar USD 62 per saham. Pada perdagangan akhir Desember 2015, harga saham FCX terpuruk menjadi USD 8,3 per saham. Pada Januari 2016 turun lagi menjadi USD 3,96 per saham. Salah satu penyebab sentimen penurunan harga saham FCX adalah tidak adanya kepastian perpanjangan KK Freport dari pemerintah Indonesia.

“Penerapan ancaman Freeport itu diyakini dapat lebih memperpuruk harga saham FCX. Bahkan tidak menutup kemungkinan penurunan harga saham FCX yang berkelanjutan akan memicu kebangkrutan McMoRan Copper & Gold Inc. Ancaman Freeport tidak lebih hanya gertakan sambal, tetap harus dilawan oleh seluruh komponen bangsa Indonesia,” tandasnya.

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan