Jakarta, Aktual.Com – Anggota Komisi VII DPR RI Harry Poernomo mengingatkan pemerintah agar tetap berhati-hati jika berniat mengajukan Arbitrase Internasional terhadap PT Freeport Indonesia (FI).
“Pesan saya kepada pemerintah, agar tidak perlu lagi membahas Arbitrase International agar tidak memberikan posisi kita kontraproduktif?,” ujar Harry dalam diskusi Dialektika Demokrasi ‘Freeport Kebijakan Pemerintah dan Ancaman Koorporasi’ di Media Center Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, (23/2).
“Disini Justru kita komisi VII DPR merasa terpanggil untuk memberikan solusi kepada pemerintah biar tidak kalah dalam Arbitrase International,” tambahnya.
Lebih lanjut, Harry mengungkapkan, permasalahan PT Freeport dan Pemerintah Indonesia sudah dimulai sejak 2015 lalu, sejak adanya terbitnya surat Menteri ESDM Sudirman Said. Dimana dalam narasi surat itu, pemerintah akan membuka diri untuk memberikan komitmen perpanjangan kontrak.
Komitmen perpanjangan itulah yang dikritisi komisi VII DPR. Padahal langkah pemerintah melalui kementerian ESDM yang didukung Komisi VII yakni Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batubara sebagai bentuk nyata keberpihakan pemerintah kepada masyarakat dan seluruh komponen bangsa.
“Kita sudah memiliki undang-undang nomor nomor 4 tahun 2009. UU Itu merupakan semangat hilirisasi, tetapi dengan terbitnya surat tersebut kemudian Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 dengan turunan peraturan Menteri ESDM. Hal ini terkesan pemerintah selalu mensiasati pasal-pasal yang ada di undang-undang Minerba itu sendiri,” ungkap dia.
Untuk itu, Politikus Partai Gerindra ini menghimbau Pemerintah, untuk tidak membiasakan diri melanggar atau mensiasati semangat undang-undang yang telah disepakati bersama. Menurutnya, hal tersebut juga sekaligus sebagai pendidikan politik.
“Tetapi yang paling penting adalah jangan sekali-sekali kita mengingkari spirit atau semangat dari undang-undang itu yaitu semangat hilirisasi dengan wujud pembangunan smelter,” tegas Harry.
Namun, Lanjutnya, kebijakan pemerintah tersebut sudah bergulir dan tidak bisa tarik kembali. Meskipun keputusan itu perlu didukung, namun pemerintah juga harus memiliki cadangan sikap untuk mengantisipasi resiko apa yang bakal diterima. Apalagi, Freeport sudah mengancam akan membawa masalah ini ke ranah arbitrase International.
“Nah, disitu Ada kemungkinan kita kalah, Ada kemungkinan kita menang. Saya ditanya persentasenya bagaimana saya terus terang tidak bisa jawab. Kita punya keunggulan kalau kita bicara kedaulatan terhadap sumber daya alam kita, tetapi kita juga punya kelemahan terhadap inkonsistensi aturan-aturan Undang-undang,” pungkas Harry.
Sementara, Direktur Eksekutif Watch Indonesia (EWI) menilai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 yang memuat persyaratan persyaratan baru, termasuk mengubah kontraknya menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) mesti dihormati.
“Secara pribadi saya katakan mendukung dan sangat setuju substansi PP tersebut, tapi masalahnya pemerintah ini salah menerapkannya. Kepada siapa, kapan dan dimana. Ketika pemerintah memaksakan perubahan rezim IUPK sekarang maka tentu Freeport tidak akan menerima, siapapun pengusaha dan investor yang memiliki uang tidak akan mau,” tukas Ferdinand.
Pemerintah, menurut dia, sudah salah menerapkan kebijakan yang ada. Seharusnya, dulu pada November 2015 mesti dilakukan amandemen terhadap dasar hukum terhadap kontrak karya, agar bisa mengakomodir UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba sehingga terakomodasi semua konten dan substansi semangat UU kedalam kontrak karya tersebut.
Sebab, Sambungnya, secara hukum kontrak karya adalah Lex Specialis, tidak bisa diintervensi oleh UU publik lainnya.
“Tapi kita harus hormati. Saya sarankan kepada pemerintah tidak usah untuk berandai andai dan berani bicara Arbitrase International,”
“Menurut saya dari pemahaman hukum, jangan lah menentang Freeport atau membawa hingga ke Arbitrase International. Tetap mereka akan menang dan Aset kita akan disita. Solusi nya yakni Negosiasi adalah jalan terbaik agar di tahun 2021 nanti tambang Freeport di Papua kita akan kuasai secara benar dan adil,” tutup Ferdinand.
Pewarta : Nailin In Saroh
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs