PT Freeport Indonesia

Jakarta, Aktual.com – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan perusahaan tambang PT Freeport Indonesia tidak memiliki legalitas atas pembelian tanah masyarakat adat suku Amungme yang menjadi lokasi operasional perusahaan.

Dalam pertemuannya dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, Komisioner Subkomisi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM Natalius Pigai menyampaikan tidak adanya bukti transaksi jual-beli lahan yang dimiliki Freeport.

“Kami panggil dari pemilik sumber bahannya langsung, seperti Kementerian ESDM, Kementerian Agraria, Freeport. Kami minta Freeport tunjukkan bukti dan mereka tidak bisa tunjukkan. Agraria mengatakan tidak punya info. Berarti, mereka (Freeport) tidak ada legalitas,” kata Natalius di Jakarta, ditulis Rabu (8/3).

Natalius menjelaskan pertemuannya dengan Menteri Jonan untuk menyampaikan hasil pemantauan Komnas HAM selama 2015-2017 untuk membuktikan tidak adanya transaksi jual-beli dari PT Freeport Indonesia atas tanah yang dimiliki masyarakat suku Amungme, Provinsi Papua.

Ia mengatakan ada delapan suku yang terkena dampak operasi Freeport, namun dua suku yang terkena dampak besar yakni suku Amungme sebagai pemilik lahan dan suku Kamoro yang berada di pesisirnya.

“Dari sisi hak milik, itu wilayah suku Amungme. Itu wilayah hukum adat namun suku Kamoro jadi perhatian serius karena terdampak langsung di sekitar itu,” ungkapnya.

Menurut dia telah terjadi penguasaan dan perampasan hak masyarakat secara sewenang oleh PT Freeport Indonesia sehingga Komnas HAM mendesak adanya kompensasi berupa uang atau pembagian saham terhadap dua suku tersebut.

Komnas HAM juga menginginkan agar Kementerian ESDM bisa menindaklanjuti penguasaan lahan ini dengan melibatkan masyarakat adat dalam perundingan antara pemerintah dengan Freeport baik dengan skema Kontrak Karya (KK) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus.

“Apakah nanti perundingan antara Freeport dan pemerintah berhasil kemudian usahanya dilanjutkan atau terhenti, bagi kami bukan jadi kekhawatiran. Bagi kami, kalau dilanjutkan bagaimana posisi masyarakat, kalau terhenti bagaimana tanggung jawab akibat operasi yang menyebabkan berbagai kekurangan,” ungkapnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara
Eka