Fahmi Darmawansyah

Jakarta, Aktual.com – Marketing sekaligus Operasional PT Merial Esa, Stefanus Hardy didakwa menyuap empat pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla). Suap tersebut diberikan secara bertahap antara November 2016 sampai Desember 2016.

Hardy menyuap empat pejabat Bakamla dengan tujuan untuk memenangkan perusahaan milik Fahmi Darmawansyah, PT Melai Technofo Indonesia dalam pengadaan monitoring satelitte di Bakamla.

“Beberapa kali memberi uang secara bertahap yang seluruhnya sebesar 209.500 dolar Singapura, 78.500 dolar Amerika Serikat dan Rp 120 juta,” papar Jaksa Penuntut Umum saat membacakan surat dakwaan terdakwa Hardy, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (9/3).

Empat pejabat Bakamla yang dimaksud yakni Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama, Eko Susilo Hadi; Direktur Data dan Informasi pada Deputi Bidang Informasi, Hukum dan Kerjasama, Bambang Udoyo; Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi, Nofel Hasan; dan Kepala Sub Bagian Tata Usaha Sekretaris Utama, Tri Nanda Wicaksono.

“(Diberikan kepada) Eko Susilo Hadi sebesar 100 ribu dolar AS dan 78.500 dolar AS, Bambang Udayo sebesar 5.000 dolar Singapura, Nofel Hasan sebesar 104.500 dolar Singapura dan Tri Nanda Wicaksono sebesar Rp 120 juta,” terang Jaksa Kiki.

Praktik suap yang dilakukan Hardy berawal saat PT Merial Esa dan PT Melati Technofo mengikuti lelang pengadaan di Bakamla dalam proyek pengadaan drone dan monitoring satelitte.

Keikutsertaan dua perusahaan milik Fahmi Darmawansyah dimulai dari kedatangan antara Ali Fahmi alias Fahmi Habsyi selaku Narasumber Bidang Perencanaan dan Anggaran Kepala Bakamla, Arie Soedewo, ke kantor PT Merial Esa di Jakarta Pusat.

“Sekitar Maret 2016 Ali Fahmi bertemu Fahmi Darmawansyah selaku Direktur PT Merial Esa yang didampingi oleh Muhammad Adami Okta. Pada saat itu Ali Fahmi menawarkan kepada Fahmi Darmawansyah untuk ‘main proyek’ di Bakamla, dan jika bersedia, maka Fahmi Darmawansyah harus mengikuti arahan Ali Fahmi supaya dapat memenangkan pengadaan di Bakamla, dengan syarat Fahmi Darmawansyah memberikan fee sebesar 15 persen dari nilai pengadaan,” papar Jaksa.

Usai pertemuan itu, Fahmi Darmawansyah, Adami yang juga dihadiri oleh Hardy, dan bertemu Ali Fahmi. Dalam pertemuan itu Ali Fahmi menyampaikan bahwa anggaran proyek monitoring satelitte sebesar Rp 400 miliar.

Pada pertemuan yang sama, Ali Fahmi meminta down payment (DP) sebesar 6 persen dari nilait proyek, untuk mengurus proses pemenangan. Kemudian Ali Fahmi memperkenalkan Hardy kepada Fahmi Darmawansyah.

“Terdakwa diperkenalkan oleh Ali Fahmi dan direkomendasikan untuk membantu PT Merial Esa dalam mengikuti proses lelang pengadaan alat monitoring satelitte. Karena Terdakwa sudah mengenal orang-orang di Bakamla, selanjutnya Fahmi Darmawansyah mengangkat Terdakwa sebagai Maketing sekaligus Operasional PT Merial Esa,” beber Jaksa.

Menindaklanjuti permintaan DP 6 persen, pada 1 Juli 2015 di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Hardu dan Adami memberikan uang yang berasal dari Fahmi Damawansyah sejumlah Rp 24 miliar dalam bentuk dolar Singapura kepada Ali Fahmi.

Menuju tahap lelang, kemudian dipisahkan antara PT Merial Esa dan PT Melati Technofo. Untuk lelang pengadaan drone diikuit oleh PT Merial Esa, sedangkan pengadaan monitoring satelitte diikuti oleh PT Melati Technofo.

“Pada 8 September 2016, Eko Susilo Hadi selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) menandatangani Surat Penetapan Pemenang Nomor D.11.01/KPA/P2IHK3L/BAKAMLA/IX/2016, yang menetapkan PT Melati Technofo sebagai pemenang pengadaan monitoring satelitte,” jelas Jaksa.

Ternyata, ada permintaan fee 7,5 persen dari pengadaan monitoring satelitte. Pihak yang meminta yakni Kepala Bakamla, Arie Soedewo saat bertemu Eko Susilo Hadi, yang kemudian Eko Susilo menyampaikan permintaan itu ke Adami. Namun, Adami menyanggupi untuk memberikan 2 persen dulu.

Pada 15 November 2016, saat kunjungan ke Jerman, Eko Susilo memberitahu kepada Adami bahwa 2 persen yang disanggupi akan diberikan kepada Nofel Hasan, Bambang Udoyo dan untuk dirinya sendiri.

“2 persen untuk Bakamla agar diberikan Rp 1 miliar untuk Nofel Hasan, Rp 1 miliar untuk Bambang Udoyo, Rp 2 miliar untuk Eko Susilo,” ujar Jaksa.

Sepulang dari kunjungan ke Jerman, Adami menyampaikan permintaan Arie Soedewo ke Fahmi Darmawansyah. Adami lalu dikenalkan oleh Hardu kepada Bram Louis Alexander yang memiliki kenalan pemilik money changer bernama Achad Hakim alias Koh Achad.

Mendengar permintaan itu, Fahmi Darmawansyah memerintahkan Adami untuk menukarkan uang Rp 1 miliar ke dolar Singapura ke money changer mili Koh Achad.

“Pada 25 November 2016, jam 10.00 WIB, Terdakwa bersama Adami memberikan uang sebesar 104.500 dolar Singapura kepada Nofel Hasan, di ruang kerja Nofel Hasan, di lantar dasar kantor Bakamla,” ungkap Jaksa.

Penyerahan selanjutnya pada 1 Desember 2016, Adami atas sepengetahuan Fahmi Darmawansyah memberikan uang Rp 120 juta kepada Tri Nanda Wicaksono di kantor PT Merial Esa. Kemudian, pada 8 Desember 2016, sebesar 5 ribu dolar Singapura diserahkan Adami kepada Bambang Udoyo, di ruangan Bambang Udoyo, di kantor Bakamla.

“Uang tersebut, 5 ribu dolar Singapura diberikan untuk memenuhi kekurangan pemberian 2 hari sebelumnya yang telah diserahkan oleh Adami sejumlah 100 ribu dolar Singapura, sehingga uang yang diterima Bambang Udoyo seluruhnya berjumlah 105.000 dolar Singapura,” kata Jaksa.

Pada 8 Desember pula, Adami menukarkan uang yang diberikan Fahmi Darmawansyah Rp 2 miliar ke dalam bentul dolar AS dan Singapura. Setelah ditukarkan menjadi 100 ribu dolar Singapura dan 78.500 dolar AS.

“Pada 14 Desember 2016, Adami yang sampai di kantor Bakamla, meminta Terdakwa datang ke mobilnya, untuk menitipkan uang 100 ribu dolar Singapura dan 78.500 dolar AS yang dimasukan dalam amplop cokelat. Kemudian, Terdakwa bersama Adami bersama-sama masuk ke ruang kerja Eko Susilo, kemudian Terdakwa memberikan amplop berisi uang ke Eko Susilo,” pungkas Jaksa.

Maka selesailah rangkaian pemberian uang ke empat pejabat Bakamla. Atas perbuatan tersebut Hardy dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Pewarta : M Zachky Kusumo

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs