Jakarta, Aktual.com – Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sejak tahun 2010 secara konsisten terus mengeluarkan catatan publik terkait praktik-praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang terjadi di Indonesia.
Angka praktik-praktik penyiksaan tersebut selalu meningkat dari tahun ke tahun sehingga menunjukkan bahwa sebenarnya tidak banyak perubahan maupun koreksi yang terjadi di institusi penegak hukum untuk mencegah terjadi penyiksaan.
Selain pola-pola yang digunakan untuk melakukan penyiksaan masih relatif sama, penanganan kasusnya pun seringkali mengalami kendala untuk dapat diteruskan pada proses pidana dan hanya lebih mengedepankan sanksi etik semata.
Koordinator KontraS, Yati Andriyani, dalam keterangan tertulisnya, Senin (13/3), mengungkapkan, dalam beberapa bulan terakhir telah mendapatkan 6 pengaduan terkait kasus penyiksaan terhadap tahanan yang diduga dilakukan oleh aparat penegak hukum dan terjadi di sel–sel tahanan kepolisian, BNN maupun di dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Beberapa korban diantaranya tewas setelah mengalami penyiksaan tersebut. Meski pihak keluarga telah melaporkan kasus tersebut melalui mekanisme pidana, namun prosesnya cenderung lamban dan tidak maksimal. Enam kasus tersebut berasal dari Sigi-Sulawesi Tengah, Biak-Papua, Meranti-Riau, Cianjur-Jawa Barat, Samarinda-Kalimantan Timur dan TTU-Nusa Tenggara Timur.
Dari fakta – fakta terhadap 6 kasus diatas, KontraS mencatat bahwa setidaknya terdapat beberapa faktor yang mengakibatkan praktik – praktik penyiksaan masih terjadi dan terus meningkat di Indonesia.
Pertama, praktik-praktik penyiksaan masih kerap dilakukan sebagai bentuk penghukuman ataupun sebagai bentuk balas dendam terhadap para tersangka.
Hal ini terlihat dalam kasus kematian Alm. Sutrisno (Sigi) dan Amsal Marandof (Biak) yang keduanya mengalami praktik-praktik penyiksaan sebagai bentuk penghukuman karena melarikan diri dari sel tahanan, serta kasus kematian Alm Afriadi Pratama (Meranti) yang mengalami penyiksaan sebagai bentuk balas dendam atas kematian salah satu anggota Polri.
Kedua, minimnya evaluasi dan koreksi terhadap proses penyelidikan dan penyidikan perkara di institusi penegak hukum, termasuk teknik penggalian informasi maupun pengumpulan alat bukti sehingga metode yang digunakan oleh penyidik masih dengan cara konvensional seperti dengan kekerasan dan penyiksaan.
Hal ini terlihat dalam penanganan kasus terhadap Alm. Laode Nopiandi (Samarinda) yang mulanya hanya dimintai keterangan sebagai saksi terkait kasus penikaman anggota BNNP Kalimantan Timur. Interogasi masih dilakukan dengan cara kekerasan yang mengakibatkan Alm. Laode Nopiandi tewas.
Ketiga, masih ada keengganan dari aparat penegak hukum untuk menghukum para pelaku – pelaku praktik penyiksaan yang notabene adalah aparat penegak hukum juga. Sekalipun ada kasus penyiksaan yang ditindaklanjuti, proses penghukuman terhadap pelaku penyiksaan hanya sebatas penghukuman secara kode etik dan tidak diikuti dengan proses pidana.
Hal ini dapat terlihat dalam kasus kematian Alm Sutrisno (Sigi) maupun Alm Marianus Oki (TTU ) yang prosesnya sangat lambat serta kasus kematian Alm Afriadi Pratama yang dalam proses penyidikannya, gagal untuk mengkonstruksikan peristiwa secara utuh.
Keempat, budaya pemberian uang ganti kerugian atau uang kerohiman yang diberikan oleh pihak kepolisian kepada korban atau keluarga korban sebagai bentuk jaminan agar baik korban maupun keluarga korban tidak melakukan proses penuntutan, khususnya yang terkait dengan tindakan atau praktik-praktik penyiksaan yang dilakukan oleh anggota kepolisian.
Hal ini terlihat dalam kasus kematian Alm Asep Sunandar (Cianjur-Jawa Barat) dan Alm Afriadi Pratama (Meranti-Riau).
Kelima, minimnya sanksi yang tegas dan institusional terhadap penyidik yang menolak atau menunda untuk menangani kasus-kasus penyiksaan oleh aparat penegak hukum, sehingga mengakibatkan banyak laporan keluarga korban penyiksaan yang tidak segera ditindaklanjuti.
Terhadap fakta-fakta diatas, KontraS mengingatkan institusi Polri, BNN, maupun Lembaga Pemasyarakatan bahwa Indonesia telah memiliki beberapa aturan hukum terkait larangan dilakukannya praktik-praktik penyiksaan.
Selain itu, peraturan Internal di masing-masing kelembagaan tersebut juga sebenarnya telah mengatur secara jelas dan eksplisit terkait pelarangan praktik-praktik penyiksaan dan mekanisme pengawasan baik pengawasan dalam proses penanganan perkara maupun pengawasan perilaku penyidik.
Hal itu sebagaimana Pasal 5 Undang – Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Permasyarakatan dan Pasal 4 ayat (2) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1999 tentang Syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Wewenang, Tugas, dan Tanggung jawab Perawatan Tahanan.
Sementara di institusi kepolisian, Pasal 82-87 Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana secara spesifik menyebutkan adanya fungsi pengawasan dan pengendalian penyidik khususnya dalam proses pemantauan dan penelitian sejak dikeluarkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Artikel ini ditulis oleh: