ilustrasi
Jakarta, Aktual.Com-Saudaraku, kehidupan modern dengan segala ornamen dan gemerlap penampakannya seringkali menyilapkan manusia dari maksud perjalanan, terperangkap dalam kerlap-kerlip lampu dan peta jalan.
Adapun ilmu pengetahuan, yang mestinya memandu manusia menyingkap kulit zahiri guna menemukan biji hikmah di jantung batini, kian hari kian terjerat oleh pukau lahiriah.
Untuk ribuan tahun lamanya, psikologi didefinisikan sebagai studi tentang ”mental-kejiwaan” (mind). Hal ini dilakukan seseorang melalui observasi secara tenang terhadap kejadian-kejadian mentalnya sendiri yang muncul dan menghilang dari kesadaran. Praktik ini memerlukan usaha yang tekun, melalui pelatihan mental dan meditasi (zikir). Mereka yang konsisten mengamalkannya dalam jangka panjang mencapai kemajuan dalam kesehatan mental, kesadaran, pemikiran dan keputusan.
Sejak empat puluh tahun yang lalu, fokus psikologi sedikit bergeser menjadi studi tentang mental-kejiwaan (mind) dan perilaku (behaviour). Dan saat ini, pergeserannya jauh melenceng dari trayek semula, menjadi studi tentang perilaku manusia dan hewan. ”Your mind,” ujar Ted Putnam (2005), ”is now ignored if not lost.”
Psikologi arus utama yang berkembang di Barat memiliki orientasi yang negatif dengan keasyikannya menggeluti perilaku eksternal (lahiriah). Kepedulian utamanya sekadar bagaimana membuat orang-orang yang mengalami sakit mental dan stress bisa kembali  menjalani kehidupan secara “normal”, tak segan melalui bantuan obat. Amat sedikit perhatian diberikan kepada upaya memaksimalkan kesehatan mental, apalagi potensi mental.  Survey baru-baru ini terhadap publikasi karya psikologi selama 30 tahun terakhir menunjukkan bahwa sebanyak 46,000 makalah berkisar pada persoalan depresi berbanding 400 makalah tentang kesenangan (Putnam, 2005: 1).
Psikologi arus utama sangat bias terhadap pengaruh sains yang sejak awal memang anti-mind. Jika sesuatu tak bisa dilihat, didengar, diraba, dan dirasakan, maka sesuatu tak bisa dipelajari oleh sains dan oleh karenanya dianggap tak ada.  Psikologi saintifik menunjukkan keajegan kecenderungannya bergeser dari perhatian terhadap kejadian-kejadian mental aktual (actual mental events) menuju kejadian-kejadian fisik terkait (correlated physical events). Pergeseran juga terjadi dari pembicaraan tentang terafi menuju behaviorisme dan perilaku kognitif dengan tekanan pada fungsi mental sebagaimana komputer.
Psikologi serupa itu dengan bias behavioral science-nya menekankan kesadaran pada “ego level” serta pentingnya belajar yang dikondisikan (conditioned learning). Padahal, kebanyakan tradisi kultural mengakui adanya spektrum yang luas dari kondisi atau level kesadaran. Level tertinggi, disebut “mind level”, merepresentasikan kesadaran terdalam (innermost consciousness) atau “identitas terluhur” (supreme identity) dari kemanusiaan.
Dengan demikian,  psikologi dalam pergumulannya dengan model watak manusia tak bisa dilepaskan dari konteks perkembangan sosial-budaya dan kepercayaannya. Aneka psikologi dilahirkan dalam konteks sistem budaya dan kepercayaan tertentu. Psikologi Freudian, misalnya, berlandaskan pada suatu pandangan pesimistik tentang watak manusia, yang dipengaruhi oleh kepercayaan umum dari lingkungan budayanya. Freud menerima pengertian traditional tentang “dosa bawaan’ dari watak manusia. Ia percaya bahwa setiap individu manusia pada dasarnya bersifat anti-sosial lengkap dengan naluri anti-sosialnya. Keyakinan seperti itulah yang menjadi premis dasar dalam mengembangkan psikologinya.
Psikologi bisa dirumuskan secara berbeda dengan berangkat dari premis yang berbeda tentang watak manusia. Buddhisme, misalnya, punya pandangan kemanusian yang berbeda seperti yang diajarkan oleh Siddharta Gautama. Siddharta berkata, ”Sungguh luar biasa, semua yang ada di bumi ini diliputi kebenaran. Hanya karena kita tidak tahu dan keterikatan maka seseorang menjadi tidak mampu memahaminya.”   Ia pun tiba pada kesimpulan jalan tengah, ”Manusia sempurna adalah Budha (mendapatkan pencerahan); Buddha yang sempurna adalah manusia.”  Dengan pandangan seperti itu, Buddhisme, dan juga sistem keperyaan Timur lainnya, memiliki premis yang positif tentang manusia, sebagai makhluk yang dibekali fitrah kerahiman dan kehanifan.
Dipengaruhi pandangan hidup seperti itu, Psikologi yang muncul dari Timur pada umumnya memiliki orientasi yang positif dan berangkat dari perhatian terhadap orang-orang yang ”normal” dalam situasi kehidupan sehari-hari. Kepeduliannya adalah bagaimana membuat orang-orang normal, yang dilukiskan lebih banyak tidur ketimbang bangun, mampu membangkitkan potensi-potensi kecerdasan mentalnya.
Ada dua mental-kejiwaan (minds) yang diperhatikan dalam Psikologi Timur.  Mental-kejiwaan sehari-hari (everyday mind) yang berfungsi seperti otak dalam Psikolog Barat. Tetapi dibalik itu, Psikologi Timur mengakui adanya mental-kejiwaan yang lebih dalam (deeper mind, ultime mind), yang bersifat non-material yang biasanya terselubung oleh everyday mind.  Dengan pelatihan mental semacam meditasi atau zikir, everyday mind bisa dilampaui, dengan begitu bisa menjangkau deeper mind.
Dengan menyelam di level kesadaran yang lebih dalam, orang-orang bisa mentransendensikan diri dari hal-hal personal menuju transpersonal. Ketika orang mampu hidup di level kesadaran transpersonal, kehidupan dialami sebagai pola interkoneksi yang tak terputus dari segala kehidupan. Kesadaran seseorang dan keterlibatannya langsung dengan kehidupan berkembang dari pernik-pernik eksistensi sehari-hari menuju eksistensi kosmik yang lebih luas. Dalam keluasan kedaran kosmik, manusia bisa melihat betapa kesalingbergantungan tidak bisa dipisahkan dari kesatuan. ”Satu dalam semua, semua dalam satu. Kesatuan tidak dapat eksis tanpa perbedaan.
Dalam kesadaran transpersonal, timbul kesadaran untuk membuka diri penuh cinta untuk yang lain, serta ketabahan untuk menghadapi ketidakpastian di tingkat permukaan hidup sehari-hari. Tak heran, riset baru yang dilakukan oleh ahli-hali ilmu syaraf dan psikologi di Barat menunjukkan bahwa orang-orang yang melakukan meditasi secara teratur pada saatnya akan lebih sadar, kurang stress, lebih positif dan lebih sehat ketimbang orang-orang yang tak melakukannya.
Jakarta 14 Maret 2017
Dr. Yudi Latief

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs