Jakarta, Aktual.com – Perekonomian nasional yang dicapai pemerintah Jokowi-Jusuf Kalla di tahun lalu di angka 5,02 persen. Angka itu dianggap lumayan dibanding banyak negara, sekalipun bisa lebih tinggi lagi.
Namun sayangnya, kebijakan menggenjot pertumbuhan tak sejalan dengan kebijakan pengentasan kemiskinan. Di bawah pemerintah Jokowi, angka kemiskinan dan ketimpangan masih relatif tinggi.
“Dalam hal ketimpangan dalam penguasaan tanah dan distribusi keuangan hanya dimiliki oleh segelintir orang. Dan hal itu memicu terjadinya ketimpangan di dalam pendapatan. Ketimpangan pendapatan ini secara kasat mata terlihat dalam kehidupan masyarakat sehari hari,” cetus penganat ekonomi politik dari AEPI, Salamuddin Daeng kepada Aktual.com, Rabu (15/3).
Kondisi itu, kata dia, dapat terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami pertumbuhan, namun pada saat yang sama jumlah orang miskin terus mengalami peningkatan.
“Ini karena yang pertumbuhan yang tidak berkualitas, semakin kurang berkualitas dibandingkan dengan era sebelum reformasi atau era Orde Baru,” tandas dia.
Sepanjang Orba, kata dia, ketimpangan ekonomi nasional yang ditunjukkan oleh gini coenfisien hanya 0,31 (koefisien Gini tahun 1999) artinya 31 persen kekayaan nasional hanya dikuasai 1 persen orang. Angka ketimpangan itu seringkali digunakan sebagai bahan argumentasi untuk mengkritik kebijakan pemerintahan Soeharto yang dipandang berpihak pada modal besar.
Namun yang terjadi, kata dia, dalam era reformasi dan hingga kini, ternyata jauh lebih buruk lagi. “Sekarang sejak era reformasi ketimpangan pendapatan meningkat dari 0.31 tahun 1999 menjadi 0.39 pada tahun 2016. Daerah daerah seperti DKI Jakarta ketimpangan pendapatan dapat mencapai 0.43 menurut data resmi BPS,” jelasnya.
Bahkan, kata dia, ketimpangan dalam distribusi kekayaan jauh lebih besar. Beberapa survey independen menyebutkan ketimpangan kekayaan ini mencapai 0.70, artinya 70 persen kekayaan nasional dikuasai oleh 1 persen orang.
“Kondisi ini merupakan angka ketimpangan yang bersifat ekstrim dan tidak bisa ditoleransi,” cetusnya.
Siapa mereka yang menguasai kekayaan nasional tersebut? Menurut Daeng, mereka adalah minoritas modal asing dan taipan yang mengendalikan keuangan, perdagangan dan bahkan sekarang telah sanggup mengendalikan APBN.
“Sepanjang era reformasi APBN menjadi ajang bancakan oligarki penguasa bersama para taipan sebagai ajang bisnis mereka. Itulah mengapa APBN Indonesai tidak memiliki lagi kemampuan untuk mensubsidi rakyat,” kritiknya.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan