Jakarta, Aktual.com – Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) membantah keras argumen kelompok pro reklamasi yang menyebut reklamasi di kawasan Jakarta mencontoh reklamasi di Jepang dan Korea yang tidak merusak lingkungan.
Ketua Kiara, Farid Ridwanudin menyatakan bahwa reklamasi yang diadakan di Tokyo, Jepang dan Saemanguem, Korea Selatan telah merusak lingkungan dan masyarakat pesisir.
Menurut Farid, kelompok pro reklamasi selalu membandingkan reklamasi di Teluk Jakarta dengan keberhasilan reklamasi di dua negara Asia Timur tersebut. Padahal, lanjutnya, masyarakat Jepang dan Korsel sendiri sangat menentang pelaksanaan reklamasi.
“Tentu mereka tidak tahu persoalan di lapangan secara nyata hanya mengutif saja gitu. Jadi sekali lagi ini merupakan penegasan bahwa reklamasi tidak sedikit pun berdampak baik terhadap ekosistem dan masyarakat pesisir,” jelas Farid di kantor WALHI, Jakarta Selatan, Selasa (21/3).
Anggapan Farid ternyata bukan tanpa dasar, karena ia telah berdiskusi langsung para ahli dari kedua negara tersebut. Ia pun menyebut nama Profesor asal Universitas Kyoto, Masaki Okamoto, sebagai rekan diskusi dalam membahas reklamasi di Jepang.
Selain itu, ia pun mengaku sudah berdiskusi dengan seorang ahli asal Korea Selatan. Dari diskusi tersebut, Farid menyatakan bahwa reklamasi di Korea Selatan pun tidak berbeda jauh dengan reklamasi di Jepang.
“(Kami) diskusi panjang lebar tentang reklamasi di Jepang. Ia mengatakan tidak sedikitpun berdampak baik terhadap lingkungan hidup dan masyarakat. Di Jepang sendiri reklamasi banyak yang ditolak,” ungkapnya.
“Yang kedua kami berdiskusi dengan peneliti di Seoul Korea Selatan. Dia menunjukkan proyek reklamasi di wilayah Saemanguem, isinya sama masyarakat menolak dan ekosistem hancur,” tambahnya.
Berdasar kesaksian dari kedua ahli tersebut, Farid pun semakin yakin bahwa tidak banyak manfaat yang didapat dari pelaksanaan reklamasi.
“Para orang yang pro Reklamasi itu selalu menuju atau membandingkan dengan Singapura, Saemanguem Korea, Tokyo,” tutupnya.
Laporan: Teuku Wildan
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan
Andy Abdul Hamid