Jakarta, Aktual.com – Peneliti muda dari Pusat Studi dan Konservasi Keanekaragaman Hayati Indonesia Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin, Zainudin, mengatakan, spesies katak nomor satu di Asia dan nomor dua di dunia setelah brazil terancam punah.
Padahal, spesies katak itu hanya tersisa 10 persen. Hal itu ditekankan dia dalam kegiatan inventarisasi katak di Jawa Barat bersama ahli katak dunia Satyabhama Das Biju, Rabu (22/3).
Disampaikan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kekayaan hayati terbesar di dunia, termasuk dari jenis amfibi. Saat ini terdapat 436 jenis amfibi yang telah berhasil di identifikasi dan 178 jenis diantaranya dapat dijumpai di Kalimantan bahkan 73 persen endemik.
Hampir 30 persen amfibi Indonesia digolongkan IUCN Redlist dalam status data deficient atau belum bisa diidentifikasi secara lengkap menurut para ahli herpetofauna IPB. Kurangnya data baik biologis maupun ekologis mempersulit kegiatan konservasi guna menyelamatkan spesies terancam.
“Diperlukan banyak data baik biologis maupun ekologis untuk menunjang keberhasilan konservasi spesies nasional tersebut, sedangkan penelitian atau bahkan peneliti untuk hal tersebut masih dapat dikatakan sedikit,” kata Zainudin.
Selain amfibia, Pulau Kalimantan memiliki keragaman reptil yang luar biasa. Bahkan Kalimantan dikenal sebagai surganya para herpetologist di dunia. Buaya senyulong, tuntong laut dan Biawak tanpa telinga merupakan reptilia yang paling diminati pemerhati hepertofauna dunia ini termasuk dalam daftar yang terancam punah.
Sementara itu Profesor Biju memberikan dorongan kepada para peneliti muda yang mengikuti Workshopnya tanggal 12-18 Maret lalu dengan tema Amphibian Field Ecology & Taxonomy di Research Center for Climate Change, Universitas Indonesia Depok, Jawa Barat.
“Indonesia mempunyai banyak spesies herfetofauna, terutama amfibi. Hal ini hendaknya menjadi peluang besar bagi peneliti di Indonesia sekaligus menjadi tugas besar bagi para peneliti, tidak ada yang tidak mungkin untuk menemukan spesies baru dan mempublikasikannya,” jelasnya.
Perubahan iklim, hilangnya habitat dan perburuan merupakan merupakan momok yang mendorong terjadinya kepunahan massal bahkan menjadi 100 kali lebih cepat, sementara informasi mengenai objek-objek yang dikonservasi tersebut minim.
“Inilah yang dapat menyebabkan spesies tersebut punah sebelum dipelajari atau bahkan ditemukan. Untuk itu perlu adanya upaya perlindungan bagi spesies-spesies hepertofauna yang ada, terlebih yang belum teridentifikasi dan terisolasi,” tambah Zainuddin. (Ant)
Artikel ini ditulis oleh: