Jakarta, Aktual.com-Dalam sidang paripurna dengan agenda pemilihan pimpinan DPD yang digelar sejak Senin 3 April 2017 sempat ricuh terkait dengan perbedaan tafsir tentang putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 20 P/HUM/2017. Hingga pada akhirnya pada dini hari tanggal 4 April 2017 terpilihlah Ketua DPD Oesman Sapta Odang, sedangkan Nono Sampono dan Darmayanti Lubis masing-masing sebagai Wakil Ketua DPD.
Sebagaimana idealnya sebuah jabatan mestinya tidak untuk diperebutkan, karena jabatan datangnya dari Sang Pencipta, bukan dari manusia. Namun hal itu tidak berlaku bagi anggota DPD yang dalam beberapa terakhir ini saling memperebutkan kursi jabatan Pimpinan baik Ketua maupun Wakil Ketua DPD-RI.
Perdebatan mengenai Pembatasan Periodeisasi Pimpinan DPD bermula dengan disahkannya Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib (Tatib) DPD khususnya mengenai ketentuan yang mengatur pemotongan masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Hingar bingar mengenai periodeisasi masa jabatan Pimpinan DPD tidak hanya berujung dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017, akan tetapi berawal dengan adanya beberapa anggota DPD diantaranya Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Djasarmen Purba, Anang Prihantoro dan Marhany Victor Poly Pua mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi salah satunya berkaitan dengan uji konstitusionalitas periodeisasi masa jabatan Pimpinan DPD, namun telah diputus melalui Putusan MK Nomor 109/PUU-XIV/2016 yang pada intinya menyatakan Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima .
Merasa putusan Mahkamah Konstitusi belum memberikan keadilan terkait periodeisasi masa jabatan Pimpinan DPD, kemudian beberapa anggota DPD diantaranya Anang Prihantoro, Marhany Victor Poly Pua, Djasarmen Purba, Sofwat Hadi, Denty Eka Widi Pratiwi dan Anna Latuconsina mengajukan hak uji materiil atas Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib (Tatib) DPD khususnya mengenai pengaturan masa jabatan pimpinan DPD yang hanya selama 2,5 tahun.
Terhadap putusan tersebut, Mahkamah Agung melalui Putusannya Nomor 20 P/HUM/2017 tertanggal 29 Maret 2017 menyatakan mengabulkan Permohonan keberatan hak uji materiil oleh Pemohon, artinya Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib (Tatib) DPD tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Problem dan Perdebatan
Atas adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017 memunculkan perdebatan baik para anggota DPD, masyarakat maupun kalangan Praktisi dan Akademisi. Ada yang menyatakan Putusan MA tidak harus dilaksanakan, sehingga Pemilihan Pimpinan DPD tetap harus dilaksanakan, hal itu dikarenakan Putusan MA cacat hukum dan mengandung unsur kejanggalan-kejanggalan, namun disisi yang lain juga ada yang menyatakan DPD harus tunduk dan patuh terhadap Putusan MA, sehingga dengan demikian tidak melanjutkan Pemilihan Unsur Pimpinan DPD.
Terhadap adanya beberapa perdebatan mengenai posisi dan kedudukan hukum Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib (Tatib) DPD pasca Putusan Mahakamh Agung Nomor 20 P/HUM/2017, setidaknya penulis memiliki beberarapa pandangan.
Pertama, Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017 tentang uji materi terhadap Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib (Tatib) DPD harus dipandang sebagai Putusan yang Konstitusional, hal itu mengingat menurut Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan Peraturan DPD merupakan bagian dari jenis peraturan perundang-undangan yang posisinya berada dibawah Undang-Undang sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga dengan demikian Putusan MA Nomor 20 P/HUM/2017 sah menurut hukum.
Kedua, Putusan Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Sedangkan arti putusan mengikat dalam Putusan MA tentang Hak Uji Materiil yaitu putusan tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal itu sesuai dengan Pasal 9 Perma Nomor 01 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.
Ketiga, Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf L, Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sehingga pengabaian terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017 merupakan bagian dari pengabaian terhadap perintah Undang-Undang.
Keempat, sesuai sumpah/janji jabatan anggota DPD wajib menjalankan kewajiban sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta lebih mngutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi, seseorang dan golongan. Untuk itu sudah selayaknyalah seluruh anggota DPD patuh dan tunduk terhadap Undang-Undang salah satunya adalah dengan menjalan Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017.
Kelima, Putusan Hak Uji Materiil Mahkamah Agung bersifat Erga Omnes, yakni putusan tersebut merupakan Putusan Publik, yang berarti putusan tersebut juga berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa, dalam hal ini juga berlaku bagi seluruh anggota DPD dan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga Putusan MA tersebut wajib dipatuhi sebagai salah satu bentuk Yudicial Control dalam upaya corrective, disiplinery, dan remedial (perbaikan) terhadap Peraturan dibawah UU yang bertentangan dengan UU.
Keenam, Putusan Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar). Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, bahwa Putusan Pengadilan berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan.
Ketujuh, Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017 harus dilaksanakan secara otomatis, yakni pada dasarnya eksekusi Putusan Hak Uji Matriil MA menekankan pada Asas Self Respect dan kesadaran hukum dari pejabat Pemerintahan terhadap isi putusan hakim. Yakni dengan secara sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan oleh pihak pengadilan terhadap pejabat yang bersangkutan.
Kedelapan, terhadap adanya salah ketik dalam berkas putusan yang diunggah pada laman direktori putusan MA (soft copy), hal itu bisa jadi berbeda dengan putusan yang sebenarnya (hard copy). Salah ketik tidak berarti merubah substansi isi putusan Mahkamah Agung, meskipun hemat penulis seharusnya MA tidak mengulangi kembali terhadap adanya salah ketik putusan yang seringkali terjadi. Kalaupun terjadi salah ketik, Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memperbolehkan perubahan terhadap kesalahan redaksional dalam Keputusan.
Kesembilan, terhadap adanya perintah kepada Pimpinan DPD untuk mencabut Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017, hal itu merupakan problem tersendiri, mengingat seharusnya apabila mengacu kepada Peraturan dalam arti Regeling yang mengikat secara umum, maka Pimpinan DPD tidak dapat bertindak atas nama institusi, sehingga pimpinan DPD tidak dapat membatalkan Peraturan yang telah disepakati secara bersama-sama dengan sepihak atau atas nama jabatan. Akan tetapi apabila menyangkut Keputusan Beschiking yang bersifat individual, final dan konkrit Pimpinan DPD dapat bertindak untuk dan atas nama institusi dengan berdasar pada jabatan yang disandangnya.
Keabsahan
Terkait dengan keabsahan Pimpinan DPD terpilih sesuai dengan hasil paripurna tanggal 4 April 2017, menurut pandangan dan analisa penulis terhadap hasil pemilihan Ketua DPD dan Wakil Ketua DPD tersebut masih terdapat problem berkaitan dengan keabsahannya, dan masih dapat dipersoalkan secara hukum, hal itu mengingat dasar hukum keabsahan untuk melakukan pemilihan dalam hal ini Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 telah dibatalkan oleh MA, terlepas dari perdebatan dan problem atas putusan MA sebagaimana tersebut diatas, namun bagi pihak-pihak yang berkepentingan yang merasa dirugikan atas terpilihnya Pimpinan DPD pada tanggal 4 April 2017 dapat melakukan gugatan kepada Pegadilan Tata Usaha Negara.
Selain itu yang perlu diingat oleh seluruh anggota DPD, yang berhak dan berwenang melakukan penyumpahan terhadap pimpinan DPD terpilih adalah Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 260 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Sehingga hemat penulis Ketua MA dalam hal ini juga berhati-hati dalam hal akan mengambil sumpah jabatan pimpinan DPD terpilih.
Namun yang pasti perebutan pucuk pimpinan DPD bukanlah isu yang menggembirakan. Hal tersebut akan menimbulkan kesan atau persepsi publik bahwa DPD sedang mempertontonkan ketidak berpihakannya kepada daerah yang sedang ingin merasakan kemanfaatan atas posisi dan keberadaannya. Semoga DPD segera menyudahi perdebatan mengenai perebutan pucuk pimpinannya, dan lebih mengutamakan perjuangan terhadap penguatan peran dan fungsi DPD dimasa mendatang.
Saiful Anam
Ketua Komite Hukum Mata Garuda Institute;
Praktisi & Akademisi Hukum Tata Negara;
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia.
Artikel ini ditulis oleh:
Bawaan Situs