Stasiun tersebut nantinya hanya dikhususkan untuk melayani rute kereta api dari Stasiun Manggarai menuju stasiun bandara Soekarno Hatta yang rencanaya akan mulai beroperasi pada Juli 2017 mendatang. AKTUAL/Munzir

Jakarta, Aktual.com – Proyek kereta api jurusan Stasiun Manggarai-Bandara Soekarno Hatta sepanjang 36,4 km hampir rampung selesai. Pengerjaannya sudah mencapai 90 persen.

Namun demikian, pembangunan proyek yang menelan anggaran sekitar Rp7 triliun itu masih menyelesaikan masalah. Yaitu belum tuntasnya ganti rugi terhadap tanah warga yang digusur serta muncul adanya potensi korupsi.

Seperti yang disebutkan oleh ratusan warga RW 12 Kecamatan Manggarai, Jakarta Pusat. Menurut mereka proyek ini terindikasi adanya maladministrasi bahkan aksi korupsi dalam proyek yang di tengah dikerjakan PT Kereta Api Indonesia (Persero) itu saat melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung Ombudsman RI, Jakarta, Jumat (7/4).

Para warga menilai, PT KAI telah melakukan mal administrasi karena informasi publik mengenai anggaran pelaksanaan, perizinan, master plane pembangunan pelaksanaan tidak pernah disosialisasikan kepada masyarakat secara langsung.

“Makanya kami datangnya ke sini (Ombudsman). Kita tidak perlu ke KPK. Yang kita butuhkan pencegahan korupsi. Ya sini lah peran Ombudsman mesti meningkatkan pengawasannya,” cetus perwakilan Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM, Nasrul Dangoran.

Dan yang sudah terjadi, kata Nasrul, adalah praktik dan pelanggaran adanya maladministrasi. Praktik ini dilakukan sejak awal.

“Karena sampai saat ini kita tidak tahu tanah-tanah mana yang akan digunakan (digusur) mereka (KAI). Ditambah lagi harganya juga sangat rendah,” tandasnya.

Nasrul mengungkapkan bahwa Ombudsman harus segera melakukan pengawalan terhadap proyek pembangunan kereta jurusan Bandara Soetta sebelum terjadi mega korupsi yang lebih besar lagi.

“Yang paling gamblang adalah soal harga ganti rugi. Proyek ini kan memakan anggaran Rp7 triliun, tapi warga hanya diberi ganti rugi Rp200-250 ribu per meter persegi untuk warga Manggarai,” ketus dia.

Warga menganggap, bahwa sertifikat milik PT KAI yang SHP (Sertifikat Hak Pakai) Nomor 47 tahun 1988 merupakan palsu. Makanya pihak KAI hanya menawarkan ganti rugi sangat murah.

“Tentu kami menolak. Padahal anggaran pembebasan lahan amat besar, mencapai Rp1,5 triliun. Tapi malah dihargai murah. Seumpama rumah warga seluas 20 meter persegi hanya akan dibayarkan Rp4 juta. Jadi kemana anggaran sebesar itu? Ini jelas pelaksanaannya tidak transparan,” kritik Nasrul.

Dia menambahkan, ketidaktransparanan dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) pun terlihat sejak penyusunan Anggaran Pelaksanaan Proyek tidak melibatkan masyarakat umum, terutama masyarakat yang terkena dampak secara langsung.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan