Jakarta, Aktual.com – Yayasan Pusaka Indonesia (YPI) melihat proses pelaksanaan divestasi 51 persen saham PT Freeport Indonesia sebagaimana yang diperintahkan oleh Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, telah berlangsung secara berlarut-larut.

Lebih disayangkan proses renegosiasi ini berjalan dengan elitis dan tidak mengikutsertakan kelompok masyarakat Papua yang terdampak negatif oleh pertambangan.

“Masyarakat Adat Independen dari Papua lewat perwakilannya Roni Nakiaya menyatakan pemerintah Indonesia sebaiknya menghentikan dulu kegiatan tambang Freeport, lalu melakukan evaluasi menyeluruh,” kata peneliti YPI, Arkilaus Baho secara tertulis, Jumat (7/4).

Lebih lanjut Baho menuturkan, kegiatan penambangan Freeport telah mengepung dan mempersempit ruang hidup masyarakat Papua yang berada di sekitar wilayah tambang emas terbesar di dunia tersebut.

Kegiatan penambangan di atas ketinggian 4.000 meter dari sumber air Aghawagon-Otomona-Ajkwa telah menimbulkan gangguan bagi masyarakat di bagian bawah penambangan.

Pada proses produksinya, dari 1,3 milyar metrik ton bijih tembanga yang digali antara tahun 1987-2014, hanya 1 hingga 1,5 persen mineral yang dianggap bernilai, selebihnya sebanyak 97 persen dibuang ke sistem air Ajkwa.

Terlebih akibat kegiatan penambangan Freeport Indonesia antara tahun 1987 hingga 2014, seluas 138 km persegi hutan, mangrove dan lahan pertanian telah kehilangan vegetasi.

“Pembuangan limbah tambang lebih dari 120.000 ton per hari ke Sungai Ajkwa telah membuat daerah muara sungai dan pesisir mengalami timbunan logam berat. Tumpukan material halus tersuspensi telah meningkat empat kali lipat hingga ke 10 km Laut Arafura,” ujarnya.

“Sejak tahun 1998, kosentrasi material tersuspensi yang mengandung logam berat ini lebih dari 40 g/m3, tingkat konsentrasi yang secara langsung mematikan tumbuhan air dan mempengaruhi siklus reproduksi binantang tak bertulang belakang dan ikan,” tandasnya.

Selanjutnya Kordinator Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER), Pius Ginting menambahkan, dengan dasar dampak lingkungan yang telah terjadi secara intensif dan luas ini, maka sudah saatnya kegiatan penambangan Freeport untuk ditinjau ulang.

“Moratorium produksi untuk memulihkan daya dukung alam menjadi penting. Dan sebelum mengambil alih saham PT Freeport Indonesia, pemerintah Indonesia sebaiknya memperjelas pertanggungjawaban kerusakan lingkungan dan dampaknya yang telah terjadi sejak tambang ini beoperasi hingga kini. Sehingga ke depan tidak ada penghindaran dari pertanggungjawaban kerusakan lingkungan hidup yang merugikan masyarakat terdampak langsung dan ekosistem,” tandasnya.

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Arbie Marwan