Jakarta, Aktual.com – Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar mengatakan kebijakan gross split sudah mengedepankan prinsip fairness dan manajemen resiko dari industri hulu migas. Skema juga meminimalisir resiko ketidakpastian harga minyak.
Karena itu pula Kementerian ESDM optimis kebijakan Gross Split akan direspon positif oleh para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan menawarkan Wilayah Kerja (WK).
“Risiko terbesar industri migas salah satunya adalah harga minyak. Kalau harga minyak lebih rendah dari yang diharapkan maka akan ada tambahan split bagi kontraktor hingga 7,5%, begitu pula sebaliknya jika harga minyak lebih tinggi, maka Pemerintah yang akan mendapatkan tambahan split,” kata Archandra, Selasa (11/4).
Dengan kata lain, Pemerintah dan Kontraktor mempunyai resiko yang sama. Share the pain, share the gain. Selanjutnya, sistem PSC gross split juga mampu membuat proses procurement dan eksekusi proyek di lapangan lebih cepat dan efisien.
“Penghematan atau efisiensi waktu proyek bisa mencapai 25 persen. Ada suatu proyek migas, dengan PSC cost recovery akan memakan waktu selama 105 bulan, tapi jika menggunakan PSC gross split hanya butuh 83 bulan,” ujarnya.
Archandra mencontohkan, dalam PSC cost recovery, proses Pre-FEED bisa mencapai 20 bulan, dengan dual FEED bisa mencapai 40 bulan termasuk Pra Qualification (PQ), lalu ada proses Authorization For Expenditure (AFE) oleh SKK Migas, evaluasi FEED untuk dual FEED, dan Engineering Procurement Construction (EPC) yang memakan banyak waktu.
Namun dengan skema gross split, banyak proses yang bisa dihilangkan. Proses FEED dan EPC bisa dilakukan dalam satu kali tender.
“Jika menggunakan skema gross split, dan menghapus proses lelang pengadaan Pre-FEED hingga FEED, atau FEED hingga EPC. Proses tersebut dapat menghemat 30 bulan, hampir 3 tahun. Berapa biaya yang dapat dihemat atas efisiensi proses tersebut,” tandas Arcandra.
(Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh: