Jakarta, Aktual.com – Indonesia Corruption Watch (ICW) memaparkan tiga alasan utama yang menyebabkan maraknya terjadi praktik politik uang menjelang pemungutan suara putaran kedua Pilkada DKI Jakarta, 19 April mendatang.
Pemaparan ini dilontarkan oleh peneliti ICW, Donal Fariz dalam konferensi pers di kantor ICW, di Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (18/4). Bagi Donal, praktik ini akan merusak tatanan demokrasi yang sedang dibangun. Hal itu juga akan merusak integritas dari pasangan calon yang membiarkan hal tersebut terjadi.
“Cara instan yang diterapkan ini, apabila benar terjadi, merusak integritas pasangan calon, pemilu, dan proses demokratisasi di Jakarta. Siapapun pelaku intelektualnya, baik itu tim sukses yang terdaftar atau tidak. Bawaslu DKI harus terus memproses dengan cepat kejahatan pemilu ini,” ujarnya.
Berikut tiga alasan utama menurut Donal
1) Kemiskinan
Politik uang akan menyasar wilayah-wilayah menengah ke bawah. Tidak mungkin terjadi di pemukiman masyarakat menengah ke atas seperti kawasan Menteng.
“Tidak mungkin orang Menteng akan makan nasi Rp 8 ribu. Maka jangan heran berita di sosmed itu daerah ekonomi relatif menengah ke bawah, target kantong suara. Kandidat berharap ada pergeseran kantong suara,” ujar Donal.
2) Budaya Permesif
“Budaya yang kita dengar di kelas menengah labil, bisa menerima kanan kiri Rp 100 ribu (dari pasangan) nomer 2 dan nomer 3 Rp 100 ribu,” ungkap Donal.
Masyarakat pun kerap dihantam pilihan yang pragmatis karena mereka memanfaatkan momen pilkada atau pemilu mencari uang secara instan.
“Mereka yakin uang 200-300 ribu tidak akan mengubah nasib mereka. Tapi karena sikap pragamtis mereka tetap saja menerima,” jelas Donal.
3) Penegakan Hukum Lemah
“Kita sadari dalam UU 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, ada sanksi tegas setiap orang yang melakukan kegiatan politik uang,” tutur Donal.
“Permasalahan penegakkan hukum pemilu itu menjadi persoalan krusial karena selama ini Bawaslu lemah dalam menindak pelanggaran politik uang,” imbuhnya
Lemahnya penegakkan hukum pun diperburuk dengan minimnya sosialisasi mengenai pelanggaran hukum terkait politik uang. Tindakan pencegahan yang minim dan penanganan hukum yang buruk pun membuka pintu politik uang menjadi semakin lebar.
“Banyak pesan yang tidak sampai. Publik dengan media sangat berperan penting. Karena ternyata banyak masyarakat tidak sadar kalau mereka menerima akan kena hukum,” pungkasnya.
Laporan: Teuku Wildan
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan
Andy Abdul Hamid