Jakarta, Aktual.com – Anggota Tim Kunjungan Kerja Komisi V DPR RI Bahrum Daido meminta Kepala Bandara Sentani untuk berkoordinasi dengan Gubernur Papua terkait pembebasan tanah ulayat bagi pengembangan Bandara Sentani.
“Salah satu kendala pengembangan Bandara Sentani ke arah Komba sesuai master plan membutuhkan biaya kurang lebih Rp 1,5 triliyun untuk pembebasan lahan 125 hektar. Ini sangat luar biasa,” ujar Badai demikian sapaan akrabnya saat pertemuan tim yang dipimpin Wakil Ketua Komisi V Michael Watimena dengan Kepala Bandara Sentani di Jayapura, Rabu (3/5).
Sebenarnya, kata dia, tanah ulayat tidak bisa dibebaskan. Sebab, Tanah ulayat merupakan milik dari seluruh masyarakat adat. Karenanya, harus ada koordinasi antara pemerintah dengan stakeholder terkait.
“Rp 1,5 triliyun ini kita akan bayar kemana, kalau tanah ulayat seperti ini harus dikoordinasikan dengan pemerintah daerah baik itu Gubernur, Bupati atau Walikota untuk menghibahkan tanah ulayat ini, tidak perlu dibeli”, tegasnya.
“Jika dibeli, akan dituntut hingga 7 turunan, cucu sampe cicit-cicit, karena ada pembagian uang di situ. Tapi jika hibah yang dijembatani atau dikoordinasikan oleh Gubernur/Bupati/Walikota pasti itu tidak ada masalah”, imbuhnya.
Ia yakin semua stake holder yang berada di pemerintahan daerah baik itu Gubernur/Bupati/Walikota yang terkait pasti setuju, karena ini untuk kemajuan Papua bukan untuk pribadi-pribadi. Ia mengharapkan tidak ada pembayaran di pembebasan tanah ulayat, karena tanah ulayat adalah tanah adat dan dimiliki oleh seluruh masyarakat adat Papua.
“Bahaya kalau dibayar. Saya minta Kepala Bandara Sentani untuk mengkoordinasikan dengan Gubernur Papua, nanti Gubernur mengkoordinasikan dengan Bupati/Walikota yang terkait untuk membicarakan masalah hibah ini,” pungkasnya.
Sebelumnya dalam kesempatan yang sama, Kepala Bandara Sentani Agus Priyanto menyatakan kendala terbesar adalah pengembangan Bandara Sentani ke arah Komba di sisi selatan seluas 125 hektar, sesuai master plan membutuhkan biaya sekitar Rp 1,5 trilyun hanya untuk pembebasan tanah ulayat.
“Tuntutan pemilik hak ulayat atas tanah Bandara Sentani ini, menjadi salah satu faktor kendala terbesar dalam pengembangan bandar udara. Sementara keterbatasan pengembangan prasarana sisi udara berpengaruh pada slot time dan appron occupancy,” katanya.
Sebagaimana diketahui, masalah tanah ulayat ini menjadi issue utama di Papua. Tidak hanya menjadi masalah bagi pengembangan Bandara Sentani saja, tetapi sudah menjadi masalah di bidang pertanahan di Papua.
Laporan: Nailin in Saroh
Artikel ini ditulis oleh:
Andy Abdul Hamid