Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) didampingi Menkeu Bambang Brodjonegoro (kedua kanan) dan Menkominfo Rudiantara (kiri) melakukan peninjauan ke salah satu gudang usai meresmikan secara simbolis 11 Pusat Logistik Berikat (PLB) di Indonesia di Kawasan Industri Krida Bahari, Cakung, Jakarta Utara, Kamis (10/3). Keberadaan PLB ini merupakan realisasi dari Paket Kebijakan Ekonomi jilid II yang diharapkan dapat menurunkan biaya logistik nasional, mempercepat waktu bongkar muat (dwelling time) di pelabuhan serta mampu menarik investasi untuk pertumbuhan ekonomi nasional. ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf/foc/16.

Jakarta, Aktual.com – Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi mengatakan harga minyak mentah dunia yang turun sejak akhir 2014 hingga kini belum memulihkan gairah investasi di sektor migas.

Berdasarkan data SKK Migas, angka investasi hulu migas di Indonesia menurun sebesar 27 persen dari semula 15,34 miliar dolar AS pada 2015 menjadi 11,15 miliar dolar AS pada 2016.

“Menurunnya investasi penyebab utama adalah turunnya harga minyak sejak akhir 2014, sekarang belum naik seperti dulu. Penurunan investasi tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain,” kata Amien pada diskusi di Jakarta, Selasa (16/5).

Dijelaskan, sejumlah negara kesulitan berinvestasi di negara sendiri sehingga investasi di Indonesia dengan harga minyak dunia yang kian menurun menjadi kehati-hatian bagi para investor. Penurunan harga minyak dunia juga berdampak pada industri turunan, bahkan level produksi pabrik menurun 30 persen pada awal 2015.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro memaparkan investasi global pada sektor eksplorasi migas turun sekitar 24 persen sejak semester-II 2014 sampai 2016, sedangkan sektor eksploitasi turun 18-22 persen pada periode yang sama.

Menurut dia, persoalan umum yang membuat investasi di Indonesia menurun, salah satunya regulasi yang tidak stabil sehingga perhitungan risiko bisnis akan sulit dilakukan.

“Dari hasil survei, posisi Indonesia dalam lima tahun terakhir hanya satu level di atas Timor Leste untuk kondisivitas investasi. Yang dilihat dari survei itu ada 15 item, tapi yang dominan masalah regulasi. Regulasi dinilai investor tidak stabil,” kata Komaidi.

Selain itu, iklim politik yang juga tidak stabil akan berdampak pada penerbitan regulasi, baik level Peraturan Menteri (Permen) atau Peraturan Pemerintah (PP) yang seringkali diwarnai pengaruh politik.

Ia menambahkan ada ketidaksepahaman antarkementerian yang membuat investasi di Indonesia kurang menarik, salah satunya pemberian insentif pajak.

“Insentif fiskal di pandangan Kementerian Keuangan, oleh K3S dan Kementerian ESDM seringkali berbeda. Kemenkeu lihat insentif menyebabkan target-target tidak tercapai, sedangkan SKK melihat itu penting untuk meningkatkan investasi,” ungkapnya. (ant)

Artikel ini ditulis oleh: