Jakarta, Aktual.com – Publish What You Pay (PWYP) Indonesian mengatakan bahwa negara Indonesia menempati urutan ke-7 dari 10 negara besar dengan aliran uang haram (illicit financial flow/IFF) terbesar di dunia. Hal ini merujuk pada peneliti Global Financial Integrity tahun 2014.
Maka dari itu ujar Koordinator Nasional PWYP, Maryati Abdullah dengan pengungkapan informasi Beneficial Ownership melalui komitmen Extractive Industries Transparency Initiative (EITI), diharapkan dapat mencegah terjadinya aliran uang haram.
“Pada 2014, Indonesia menempati urutan ke-7 dari 10 negara besar dengan illicit financial flow (IFF) terbesar di dunia. IFF di Indonesia tahun 2003-2012 mencapai USD187.884 juta atau rata-rata Rp169 triliun per tahun. Tahun 2014, IFF Indonesia diperkirakan mencapai Rp227,7 triliun atau setara 11,7 persen APBN-P pada tahun tersebut,” katanya kepada Aktual.com, Minggu (28/5).
Diantara sektor penyumbang aliran dana haram berasal dari Bidang Kementerian ESDM. Di sektor Pertambangan, lanjutnya, diperkirakan mengalir Rp 23,89 triliun dengan rincian sebesar Rp 21,33 triliun berasal miss-invoicing trade, dan Rp 2,56 triliun dari aliran uang panas/hot money narrow.
Demikian juga di sektor migas, dimana hasil temuan Korsup Energi KPK didapatkan piutang PNBP dari 143 KKKS meliputi sisa komitmen pasti di 25 wilayah kerja sebesar USD 310 juta, bonus tanda tangan USD 2,5 juta, barang dan jasa USD 575 ribu, dan jaminan operasi USD 5,8 juta.
Dengan demikian dia berharap pengungkapan informasi Beneficial Ownership memudahkan aparat penegak hukum untuk pencarian identitas dalam membongkar kasus pidana, memudahkan pencarian dan pembuktian tindak pidana pencucian uang (TPPU), serta memaksimalkan pemulihan aset (asset recovery) dari pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
“Keterbukaan Beneficial Ownership juga memudahkan pemerintah untuk melakukan penagihan piutang PNBP atas perusahaan-perusahaan migas dan tambang yang belum memenuhi kewajibannya. Di sektor minerba misalnya, terhambatnya penyelesaian Piutang PNBP dari ribuan pelaku usaha IUP sekitar Rp 3,949 triliun, salah satunya karena ketidakjelasan alamat pemegag IUP ataupun pemilik IUP.” pungkas dia.
(Dadangsah Dapunta)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka