Jakarta, Aktual.com – Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI) dengan obligor penerimanya, bak satu keping mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Ketika membahas soal penerima SKL BLBI, salah satu nama yang mencuat ialah Sudono Salim, pemilik Bank Central Asia (BCA).
Sekitar 15 tahun silam, saat Megawati Soekarnoputri menjadi Presiden RI, sempat terjadi perdebatan di antara beberapa menteri yang tergabung dalam Kabinet Gotong Royong. Ketika itu, medio 2002, dalam sebuah rapat kabinet, Kwik Kian Gie selaku Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas, ‘dikroyok’ lantaran tak setuju atas rencana penjualan BCA. Hingga memaksa rapat kabinet memasuki tahap ‘extra time’.
Kerasnya tentangan Kwik atas rencana penjualan BCA ‘ditampar’ oleh Menteri Keuangan saat itu, Boediono, bahkan Menteri Ekonomi, Keuangan dan Industri, Dorojatun Kuntjoro Jakti. Sementara Megawati hanya menunggu laporan.
Alhasil, sebagai koordinator, Dorojatun bersama dengan Laksamana Sukardi selaku Menteri Negara BUMN menghadap Megawati, dan menyatakan bahwa BCA bisa dijual.
Bukan tanpa alasan mengapa Kwik tidak setuju dengan keputusan menjual BCA, apalagi jika penjualan itu dianggap sebagai upaya memaksimalkan pengembalian BLBI yang diberikan negara ke Sudono Salim selaku pemilik BCA. Sebab, dari sekitar Rp 52 triliun hutang Sudono ‘lenyap’ setelah 51 persen saham BCA dijual, dan negara hanya menerima Rp 5,1 triliun.
Padahal, kala itu pemerintah masih memiliki kebijakan ‘personal guarantee’, yang menurut Menko Ekuin 2000-2002, Rizal Ramli, memberikan jaminan kepada negara, karena pengembalian BLBI harus dilunasi meskipun si penerima BLBI, sudah meninggal dunia.
Artikel ini ditulis oleh:
Nebby