Sejumlah anggota Polri dan prajurit TNI mengikuti apel gabungan pergeseran pasukan di Lapangan Bhayangkara, Jakarta, Selasa (18/4). Sebanyak 62 ribu personel gabungan TNI-Polri dikerahkan untuk pengamanan pelaksanaan Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/aww/17.

Jakarta, Aktual.com – Ketua SETARA Institute, Hendardi menilai wacana pelibatan TNI sebagai aktor dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, tidak tepat dan dikhawatirkan justru akan keluar dari mekanisme sistim peradilan pidana terpadu.

“Gagasan memasukkan TNI sebagai aktor dalam pemberantasan terorisme dipastikan akan keluar dari mekanisme sistem peradilan pidana terpadu,” katanya, Rabu (31/5).

Lebih lanjut Hendardi menjelaskan, terorisme adalah transnational crime (kejahatan lintas negara) yang oleh dunia internasional tetap dianggap sebagai kejahatan dan hanya bisa diberantas dengan pendekatan hukum dengan kewenangan preventif yang lebih luas jangkauannya.

TNI, tambahnya, bukanlah aparat penegak hukum yang bertugas memberantas kejahatan, termasuk kejahatan terorisme. Karena itu, tambah Hendardi pelibatan TNI dalam RUU Antiterorisme tetap dalam skema perbantuan sebagai tugas operasi militer selain perang, yang mekanismenya diatur dengan UU Perbantuan Militer, suatu UU yang seharusnya sudah sejak lama dibentuk karena merupakan mandat dari UU TNI.

Dalam pandangan Hendardi, melibatkan TNI sebagai penegak hukum atas kejahatan terorisme akan melemahkan akuntabilitas pemberantasan terorisme, karena tidak adanya kontrol sistemik yang melekat dalam sistem peradilan pidana terpadu bagi TNI.

Artikel ini ditulis oleh: