Presiden Joko Widodo berdiskusi dengan Menkeu Sri Mulyani Indrawati (kiri) saat acara penyerahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Kementerian/Lembaga (K/L) APBN tahun 2017 di Istana Negara, Jakarta, Rabu (7/12). Dalam APBN Tahun 2017, pendapatan negara ditetapkan sekitar Rp1.750 triliun dan belanja negara sekitar Rp2.080 triliun. DIPA yang diserahkan kepada 87 K/L berjumlah 20.646 DIPA senilai Rp763,6 triliun (36,7 persen), DIPA Dana Transfer Daerah dan Dana Desa Rp764,9 triliun (36,8 persen), serta Bagian Anggaran Bendahara Umum Negara Rp552 triliun (26,5 persen). ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/kye/16

Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dianggap gagal dalam menjaga pertumbuhan ekonomi tinggi. Apalagi kemudian, Menkeu sendiri hanya mengandalkan kekuatan sumber daya alam sebagai penopang pertumbuhan.

Padahal negara-negara lain yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi seperti Korea Selatan yang diandalkan adalah sektor manufaktur. Tapi hal ini, justru ditinggalkan oleh Sri Mulyani.

“Karena yang terpenting saat ini, bahwa perekonomian Indonesia saat ini harusnya bisa tumbuh tinggi menuju 9-10 persen,” ungkap analis ekonomi politik Abdulrachim Kresno kepada Aktual.com, Senin (5/6).

Untuk menggenjot pertumbuhan setinggi itu, kata dia, pemerintah harus memfokuskan pertumbuhan manufacturing dengan tingkat teknologi yang lebih tinggi dan mempunyai nilai tambah tinggi.

“Itu yang dilakukan oleh Korsel. Tapi sayangnya, saat ini yang dilakukan dan direncanakan di 2017 oleh Sri Mulyani hanya targetkan pertumbuhan 5,2-5,5 persen beberapa tahun ke depan, bahkan sampai 2020,” jelas dia.

Namun ternyata, kata Abdulrachim, target Menkeu itu hanya mengandalkan ekspor bahan mentah seperti batu bara, crude palm oil (CPO), liquid natural gas (LNG) dan sumber daya alam lainnya yang justru saat ini bernilai tambah rendah.

“Jika begitu, kita akan ketinggalan terus dan tidak mungkin menyejahterakan rakyat. Makanya, Jokowi harus bertindak cepat sekarang agar pertumbukan bisa tinggi. Jika tidak, maka perekonomian kita mengalami kegagalan,” papar dia.

Lebih lanjut dia menegaskan, untuk laju ekspor Indonesia di tahun lalu hanya mencapai sekitar US$144 miliar. Sementara laju ekspor Vietnam malah sudah melampaui US$169 miliar.

“Ekspor tekstil kita juga di 2016 hanya US$12 miliar separoh dari Vietnam yangg mencapai US$23 miliar. Ini harus menjadi peringatan keras bagi perekonomian kita,” tegas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan