Pengamat Politik Yudi Latief memberikan orasi politiknya dalam acara konser musik ‘Revolusi Pancasila’ yang digelar, di Pustakaloka Nusantara IV Gedung Parlemen, Senayan, Kamis (26/5/2016). Jelang memperingati hari lahir 70 Tahun Pancasila yang jatuh pada 1 Juni 2016 nanti, sejumlah elemen masyarakat menggelar acara bertajuk konser musik ‘Revolusi Pancasila’ yang digelar di Ruang Pustakaloka Gedung Nusantara IV Komplek Parlemen.

Jakarta, Aktual.com – Meskipun masih berstatus sebagai negara berkembang, pembangunan fisik dianggap tidak selalu menjadi hal utama bagi Indonesia. Pembangunan jiwa, melalui nilai-nilai, baik yang bersifat norma maupun ideologi, menjadi sebuah hal yang tidak dapat diremehkan begitu saja.

Kepala Unit Kerja Presiden bidang Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), Yudi Latief menyatakan bahwa pembangunan jiwa yang berdasar pada Pancasila adalah sebuah kebutuhan dan keharusan yang penting bagi bangsa Indonesia.

Hal tersebut dilontarkannya dalam sebuah diskusi bertajuk “Pancasila Sebagai Integrasi Negara dan Agama” yang diadakan di rumah dinas Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, Jakarta, Selasa (13/6).

“Jadi sebenarnya apa yang terjadi belakangan ini, menyadarkan kalau membangun ini bukan hanya membangun fisik. Kalau fisik itu mudah di robohkan,” jelas Yudi kepada Media.

Di Indonesia sendiri, pendidikan yang berkaitan dengan nilai humanisme dan moralitas, kerap kali sudah menjadi porsi tersendiri dalam pendidikan agama, baik dalam pendidikan formal maupun non formal. Yudi sendiri mengakui bahwa ajaran Pancasila tidak seluas ajaran agama, karena Pancasila hanya mengajarkan tentang nilai moral bangsa secara umum.

Namun demikian, tanpa mengecilkan ajaran agama, Yudi menilai pendidikan yang berdasar Pancasila tetap dibutuhkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Pancasila juga dapat lebih luas dari agama, karena merekatkan kehidupan antarumat beragama di Indonesia,” jelas Yudi.

“Pembentukan Pancasila sebagai dasar dan filosofi negara yang mengatur mengenai moral publik dalam kemajemukan bangsa Indonesia,” kata penulis buku ‘Negara Paripurna’ ini.

Menurut Yudi, Pancasila memang kerap tidak tampak sebagai jawaban atau kebutuhan masyarakat. Hal ini karena masyarakat sudah hidup dalam masa tenang dan tidak menemui ancaman disintegrasi yang berarti dalam beberapa tahun belakangan.

Ia pun beranalogi dengan menyebut Pancasila sebagai bintang yang keindahan cahayanya hanya dapat terlihat pada saat malam hari tiba.

“Maksudnya di dalam rutinitas terang itu nggak kelihatan nilai gunanya gitu loh. Tetapi kalau melalui masa gelap, ternyata penting itu lho Pancasila. Kita lihat hikmahnya saja, krisis seperti ini ternyata orang melihat itu penting,” terang Yudi.

Meskipun demikian, mantan dosen Universitas Paramadina ini juga menolak jika Pancasila dijadikan dogma atau bahkan hanya sekedar alat politis saja seperti yang terjadi pada masa lalu.

“Jadi Indonesia yang majemuk itu (Pancasila) penting, tetapi tentu saat eksekusi seperti itu harus dihindari kesalahan-kesalahan rezim Pancasila seperti yang terjadi di masa lalu,” pungkas Yudi.

Pewarta : Teuku Wildan

Artikel ini ditulis oleh:

Bawaan Situs