Seorang pria memerhatikan pergerakan harga saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (19/5). Merespons pengumuman naiknya peringkat kredit Indonesia menjadi "investment grade" oleh lembaga pemeringkat S&P Global Ratings, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berhasil mencatat rekor tertinggi sepanjang sejarah setelah ditutup menguat menguat 174,79 poin atau 3,09 persen ke level 5.820. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/aww/17.

Jakarta, Aktual.com – Perdagangan di pasar modal atau pasar uang mulai Senin (3/7) esok baru akan dibuka, setelah ditutup selama libur panjang Hari Raya Idul Fitri ini.

Namun demikian, beberapa indikator keuangan global menunjukkan pelemahan atau berada di zona merah. Hal ini sangat berpotensi menjadi sentimen negatif ketika sentimen positif di dalam negeri sendiri masih minim.

Melihat penutupan pasar keuangan di Asia, Eropa, dan Amerika Serikat, ternyata di Asia dan Eropa ditutup di zona merah. Hanya pasar di AS yang menguat. Kondisi itu harus menjadi perhatian serius bagi pelaku pasar keuangan di dalam negeri.

Menurut analis pasar keuangan dari PT Binaartha Sekuritas, Reza Priyambada, pelemahan laju bursa saham Asia di akhir pekan lalu kembali terjadi, meski rilis indeks manufaktur di China masih di atas ekspektasi.

“Indeks manufaktur China dirilis di angka 51,7 di bawah perkiraan 51. Imbasnya nilai CNY (yuan) menguat dibandingkan dengan USD. Begitu juga dengan JPY (yen) yang menguat setelah rilis kenaikan core CPI Jepang. Namun bursa Asia ternyata malah melemah,” tutur Reza di Jakarta, Minggu (2/7).

Pelemahan bursa saham Asia terimbas terimbas dari pelemahan bursa saham AS terutama dengan adanya aksi jual masif saham-saham di sektor tekno.

Sementara itu, kata dia, laju bursa saham Eropa juga berbalik melemah saat penutupan akhir pekan lalu. Padahal sebelumnya sempat menguat setelah merespon angka inflasi yang melambat.

“Pelemahan kali ini dipengaruhi oleh banyak aksi jual pada saham-saham kimia. Padahal pergerakan EUR dan GBP kembali menguat dibandingkan USD,” kata dia.

Sentimen negatif ini, jelas Reza, juga datang dari sejumlah bank di Inggris yang menguarangi transaksi Riyal Qatar menyusul meningkatnya ketegangan di kawasan Timur Tengah itu.

Sedang di pasar Paman Sam, akhir pekan lalu ditutup menguat. Hal ini setelah pelaku pasar merespon atas kenaikan consumer spending di bulan Mei. Padahal sebelumnya beberapa pembuat kebijakan bank sentral AS, the Fed khawatir laju inflasi dapat turun lebih jauh di bawah target 2 persen.

“Akan tetapi, Gubernur the Fed Janet Yellen mengatakan awal bulan ini inflasi kemungkinan akan lancar dalam beberapa bulan mendatang karena faktor sementara,” jelas dia.

Salah satunya terkait belanja konsumen yang solid mendukung prospek inflasi yang lebih cepat dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.

Menurutnya, pertumbuhan belanja yang lebih lambat di bulan Mei itu diikuti dua kenaikan bulanan sebesar 0,4 persen, yang menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berada di jalur yang cepat untuk digenjot pada kuartal kedua, setelah adanya ekspansi yang melambat pada kuartal I-2017 ini.

“Dan penguatan juga didukung oleh adanya ekspektasi membaiknya kinerja para emiten di semester pertama tahun ini,” pungkas dia.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Eka