Jakarta, Aktual.co —Ketiga, sistem Pemilu langsung, baik Pileg dan Pilpres, yang melahirkan Joko Widodo sebagai Presiden tak berbeda dengan sistem Pemilu yang melahirkan SBY sebagai Presiden selama dua periode.
Pemilu langsung yang sarat politik uang, pencitraan dan koalisi politik yang dimotifasi oleh transaksi jabatan dan iming¬-iming projek adalah sistem dan keadaan yang melahirkan baik Joko Widodo maupun SBY sebagai Presiden RI. Akibatnya, Presiden hasil Pilpres pasti tersandera oleh berbagai kepentingan jahat yang turut menopang, baik politik maupun modal, bagi kemenangan sang Presiden.
Yang berbeda antara SBY dengan Presiden Joko Widodo adalah ketika menjabat sebagai Presiden selama 10 tahun, SBY memegang kendali penuh atas Partai Demokrat, memimpin sendiri koalisi Parpol yang menopang pemerintahannya, SBY juga mengatur langsung pembagian jabatan dan projek (power sharing) sebagai sogokan dalam mengatasi keadaan multi partai yang membahayakan kekuasaannya.
Sementara Joko Widodo, saat terpilih menjadi Presiden dapat dikatakan sebagai sebuah musibah politik, lantaran Joko Widodo sendiri tidak menjadi pemimpin yang berpengaruh di dalam Parpol yang mengusungnya, tidak memimpin langsung koalisi Parpol yang menopangnya. Bahkan, otoritas Presiden Joko Widodo yang sangat lemah dalam mengatur pembagian jabatan dan projek kepada para pendukungnya.
Terlalu banyak pusat kekuasaan, baik kekuasaan Politik, kekuasaan Pemodal dan kekuasaan intelijen, yang berada di lingakaran teras Joko Widodo, yang telah menciptakan keadaan krisis kepemimpinan nasional dan melahirkan ketidakpastian kebijakan.
Bagaimana mungkin Presiden Joko Widodo dapat melakukan sebuah lompatan yang jauh ke depan untuk melakukan perbaikan secara menyeluruh dan mendasar, jika Presiden Joko Widodo sendiri tidak punya kekuatan politik untuk menggerakan ambisi dan cita cita tersebut. Presiden Joko Widodo bukan Pimpinan Parpol yang berpengaruh di dalam tubuh PDIP, padahal perubahan prosedural membutuhkan kekuatan di parlemen, Joko Widodo bahkan menjadi orang yang terusir dari PDIP.
Keempat, sistem negara yg dipakai oleh Presiden Joko Widodo untuk mengoperasikan jalannya pemerintahan juga tak berbeda dengan sistem negara yang dipakai oleh SBY selama 10 tahun menjadi Presiden. Sistem negara yang berdiri di atas UUD amandemen yang saat ini dipakai oleh Presiden Joko Widodo adalah sistem multi partai ultra liberal yang telah membunuh kedaulatan rakyat, mematikan demokrasi dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sistem yang politik yang beroperasi saat ini telah dikuasai oleh mafia dan oligarki tua korup, yang mengubah haluan demokrasi menjadi dari Parpol, oleh Parpol untuk kesejahteraan Parpol dan keluarganya. Demikian juga, sistem otonomi daerah ugal-ugalan yang telah mematikan beroperasi pembangunan secara efektif dan efisien karena dibajak oleh para Kepala Daerah yang korup dan khianat, sistem Pilkada langsung yang sarat politik uang konflik kepentingan juga telah memecah belah seluruh potensi bangsa untuk membangun memangung kemakmuran bersama.
Kelima, kebijakan pemerintah era Presiden Joko Widodo dalam membangun kesejahteraan rakyat juga tidak berbeda dan merupakan kelanjutan dari praktik kebijakan era Presiden SBY, yaitu kebijakan karitatif dan sogokan bentuk baru, hanya berubah sampul, dari model BLT berganti dengan cara dan sampul baru berbentuk Kartu Indonesia Sehat, Kartu Indonesia Pintar, dll.
Demikian juga kebijakan di bidang ekonomi dan energi juga masih merupakan kelanjutan dari kebijakan Pemerintahan SBY yang menyerahkan harga BBM sepenuhnya kepada mekanisme pasar. Di era Presiden Joko Widodo malah lebih ekstrem, karena negara justru berperan dalam menciptakan ketidakpastin ekonomi dengan membuat regulasi menaikan atau menurunkan harga BBM setiap bulan.
Keenam, kebijakan dalam pemberantasan korupsi juga masih merupakan kelanjutan dari kebijakan pemerintahan era Presiden SBY, yaitu terjadinya serangkaian pelemahan, serangan dan kriminalisasi terhadap institusi dan aparatur pemberantasan korupsi yang menjadi komisioner dan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Presiden Joko Widodo bahkan terlihat membiarkan upaya pelemahan KPK yang dilakukan secara sistematis.
Ketujuh, kekacauan dan ketidakpastian kebijakan perundang undangan di era Presiden Joko Widodo juga melanjutkan kekacauan dan ketidakpastian kebijakan di era Presiden SBY.
Sebagai contoh, (1). RUU Pilkada yang diajukan di era Presiden SBY yang telah dibahas dan disahkan oleh DPR menjadi UU Pilkada melalui paripurna DPR, namun SBY mengacaukan pranata dan tatanan perundang-undangan yang berlaku dengan mem-veto UU Pilkada dan mengajukan Perpu Pilkada langsung, padahal tidak ada kewenanangan Presiden untuk mebatalakkan UU yang disahkan oleh DPR melalui Perpu.
(2). Kekacauan pranata dan tatanan per undang-undangan makin diperparah oleh DPR dengan membuat keputusan untuk merevisi Perpu Pilkada, padahal DPR hanya berwenang menolak atau menerima Perpu yang diajukan oleh Pemerintah, tidak ada kewenangan DPR untuk merevisi Perpu yang diajukan oleh Pemerintah.
(3). Dibatalkannya status tersangka Budi Gunawan oleh pengadilan pra peradilan telah melumpuhkan diskresi KPK dan Polri dalam menegakan hukum. KPK sebagai lembaga yang memberantas korupsi yang ditempatkan sebagai kejahatan luar biasa, yang perkaranya tidak bisa di SP3 kan, telah tercabutnya nyawanya melalui keputusan hakim pra peradilan tersebut.
(4). MoU antara Kementerian ESDM dengan Freeport dan Newmont justru mengalahkan UU Minerba yang telah disahkan oleh DPR. Bahkan MoU yang tidak ada nomenklaturnya dalam per undangan-undangan kita, tapi dipakai oleh Kemeterian ESDM era Presiden Joko Widodo sebagai landasan kebijakan.
(5). Melalui Kementerian Hukum dan HAM, Laoly, mengajukan RUU Pemerintah Indonesia dengan Papua Nugini tentang Ekstradisi Joko Tjandra, dan telah disahkan oleh DPR menjadi UU. Baru kali ini ada sebuah UU yang khusus menangani satu kasus. Hebatnya lagi, walaupun UU ekstradisi telah disahkan oleh DPR, namun Djoko Tjandra masih bebas merdeka tidak tersentuh.
(6). Pengajuan Calon Kepala Polri Budi Gunawan yang telah disahkan oleh DPR, tapi Prsiden Joko Widodo justru membatalkan keputusannya sendiri.
(7). Mekanisme lelang jabatan yang tidak jelas aturannya menyebabkan terjadi kekacauan dalam mengangkat pejabat eselon satu, bahkan anehnya masih ada proses melalui Tim Penilai Akhir (TPA) yang dapat mem veto hasil lelang jabatan. (8). Rancangan nomenklatur sepuluh kementerian hingga smester satu berakhir masih belum tuntas, yang menyebabkan macet berbagai agenda pembangunan. (9). Pembatalan keputusan Presiden tentang tunjangan mobil dinas pejabat yang ditandatangani oleh Presiden, namun dibatalkan sendiri oleh Presiden Joko Widodo karena adanya tekanan publik. (10). Pembatalan kenaikan harga BBM non subsidi kementerian ESDM setelah surat edaran Pertamina untuk menaikan harga BBM non subsidi disebarluaskan. (11). Beredarnya Kepres bodong terkait pengangkatan Dirjen Imigrasi Kemenkumham. (Baca: Perubahan Yang Dikehendaki, Lanjutannya Yang Dirasakan (Bagian III)
Oleh: Haris Rusly (Petisi 28)
Artikel ini ditulis oleh: