Kapal Tongkang pembawa batubara melintasi aliran Sungai Batanghari di Muaro Jambi, Jambi, Selasa (9/8). Pemerintah Provinsi Jambi melayangkan surat keberatan kepada Kementerian Dalam Negeri atas rencana pembatalan Perda Batu Bara daerah itu yang telah mengatur larangan angkutan batu bara melintasi jalan raya setempat dan mengharuskan pembuatan jalur khusus atau melalui jalur sungai karena dinilai berkontribusi besar atas kerusakan jalan provinsi itu. ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/aww/16.

Jakarta, Aktual.com – Pemerintah dikatakan tidak konsisten menerapkan pembatasan produksi batubara sebanyak 400 juta ton sebagaimana yang tercantum pada mandat Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2015-2019 dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

Terlihat meskipun tren produksi saat ini mengalami penurunan di 2015 sebanyak 461 juta ton dan 2016 sebanyak 434 juta ton, namun faktor pendorong penurunan tersebut ternyata bukan karena pemerintah sadar atas mandat RPJMN dan RUEN namun melainkan karena harga yang murah.

“Buktinya di 2017 pemerintah merevisi target menjadi sangat tinggi sebesar 477,91 juta ton. Karena itu, seharusnya pemerintah menyusun strategi khusus bagaimana mengatur PKP2B dan IUP di Provinsi untuk patuh melakukan pembatasan. Kendala utama pasti terjadi di Provinsi, namun ini tantangan bagi pemerintah atas kebijakan yang dibuatnya. Harus dicari jalan keluarnya bersama,” kata Peneliti Tata Kelola Batubara, Publish What You Pay Indonesia, Agung Budiono yang diterima Aktual.com Selasa (18/7)

Menurut Agung, setidaknya terdapat dua hal penting yang harus didorong agar dapat mengimplementasikan kebijakan pembatasan produksi batubara. Pertama, perlunya keseriusan dalam melakukan perubahan paradigma pengelolaan energi, yaitu tidak lagi bergantung pada penggunaan energi fosil seperti batubara secara masif.

Pemerintah harusnya tegas Agung, sudah mulai berpikir soal batubara sebagai salah satu penopang penerimaan negara, karena selama pemerintah ini masih berpikir batubara dan sumber daya ekstraktif menjadi tumpuan penerimaan dan fiskal, akan sangat sulit kita keluar dari ketergantungan pada energi fosil. Kedua, kemauan politik yang kuat dalam menjalankan kebijakan.

“Kalau political will sudah kuat, seharusnya tidak lagi ada ruang kompromi dari para kelompok kepentingan lain,” pungkas Agung.

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Dadangsah Dapunta
Editor: Andy Abdul Hamid