Jakarta, Aktual.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut, jika Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang mencapai Rp4,5 juta sebulan atau Rp54 juta setahun dianggap ketinggian.
Jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, PTKP di Indonesia relatif ketinggian. Penyataan Menkeu tersebut terasa tak pas. Pasalnya, jika dilihat pendapatan per kapitanya dibanding negara-negara ASEAN itu pun, penduduk Indonesia masih kalah jauh.
Atas pernyataan Menkeu itu, ekonom senior Rizal Ramli mengkritik sikap Sri Mulyani sebagai sikap yang kalap tak mampu lagi menggenjot penerimaan negara dengan mengutak-atik sektor lain yang tak perlu.
“Wah, benar-benar sudah panik dan kalap dari Sri Mulyani. Makanya batas gaji tak kena pajak (PTKP) diangggap ketinggian,” sindir Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Gus Dur itu, seperti ditulis dalam akun resmi twitter-nya, Kamis (20/7).
Kritikan Rizal itu mendapat banyak sambutan dari warganet lainnya. Banyak komentar pesimisme terhadap kinerja Menkeu itu.
Akun @tri7_tri menyebut, “mungkin itu salah satu syarat dari debitur untuk hutang berikutnya. Jika tidak, hutang baru tidak mengucur. Ngeri ya”
Akun @AsiehA616 juga menulis “sudah kerja outsourcing, kontrak enggak jelas, gaji di bawah standar, PTKP diturunin, pajak dinaikin, sembako naik, TDL naik, isih kurang opo (masih kurang apa)?”
Bahkan pemilik akun @yulisanusi59 sangat pesimis, “sekalian saja pajakin tuh tukang gerobak bubur, siomay, mie ayam, pemulung, dan lainnya, puas??!!”
Rizal pun kembali mengomentari, jangan sampai sektor-sektor non formal lain seperti di atas, malah dipajaki. “Jangan sampai ya (sektor itu diapajaki). Amit-amit,” ucapnya.
Sebelumny, Sri Mulyani akan mengkaji lebih lanjut soal kebijakan pajak, khususnya terkait dengan kenaikan batas PTKP yang disebutnya paling tinggi di Asia Tenggara.
“Kalau kita bandingkan negara ASEAN, PTKP kita paling tinggi, walaupun income per kapita kita relatif lebih rendah dari Thailand, Vietnam, Malaysia bahkan dengan Singapura sekalipun, Indonesia menerapkan PTKP yang tinggi,” tegas SMI.
Klaim Sri Mulyani, kebijakan tersebut berkaitan dengan rasio pajak. Saat pemerintah menaikkan PTKP sebanyak dua kali dalam waktu yang berdekatan, basis pajak di Indonesia malah terus menurun.
“Akhirnya mengganggu realisasi penerimaan. Karena kita ingin tax ratio comparable dengan negara lain, kita harus lihat kenapa Indonesia berbeda. Kalau policy mengenai PTKP, dengan income per kapita yang kita miliki dengan negara lain, apakah bisa dilihat sebagi salah satu yang menjelaskan basis pajak kita berbeda,” papar dia.
Dia berdalih, jika PTKP makin tinggi, maka basis pajak makin sedikit. Dan pemerintah Indonesia sudah menaikkan dua kali PTKP. Bahkan bentuk kekalapan Sri Mulyani itu akan segera meminta Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) untuk menelusuri kebijakan PTKP saat ini.
(Busthomi)
Artikel ini ditulis oleh:
Arbie Marwan